Tampilkan postingan dengan label Psikologi Kepribadian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi Kepribadian. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Juni 2010

Teori perkembangan kepribadian Erik H. Erikson

Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.

Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia. Teori itu juga diaplikasikan langsung baik pada perempuan maupun laki-laki. Sayangnya penerapan semacam ini sebenarnya merupakan suatu kesalahan metodologis. Bila kita berbicara mengenai masalah generalisasi teori, maka teori Erikson seharusnya tidak digeneralisasikan secara universal. Apalagi menyangkut permasalahan jenis kelamin, sangat tidak tepat jika kasus perempuan dibahas dengan menggunakan teori Erikson.

Sebagian besar tahapan perkembangan yang dikemukakan Erikson merupakan hipotesis belaka. Hanya perkembangan masa kanak-kanak dan remaja yang didasarkan Erikson pada hasil penelitiannya. Mengenai tahapan perkembangan masa kanak-kanak, ia melakukan observasi terhadap anak-anak suku Sioux dan Yurok. Sedangkan mengenai remaja, ia melakukan analisis terhadap kehidupan tiga remaja putra[1]. Dari observasi dan analisis itulah ia mengemukakan teorinya mengenai delapan tahap perkembangan manusia dari lahir hingga lanjut usia, dalam buku pertamanya yang berjudul Childhood and Society pada tahun 1964.

Gagasan Erikson mengenai delapan tahap perkembangan manusia yang ditulisnya dalam buku tersebut banyak menerima kritik. Pertama, Erikson dianggap salah bila mengklaim teorinya itu sebagai sesuatu yang universal. Hal ini dikarenakan sampel penelitiannya terbatas pada dua suku primitif Indian. Tentunya hasil penelitiannya tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh budaya. Apalagi ia sendiri mengungkapkan pentingnya aspek sosial budaya sebagai pembentuk kepribadian seseorang. Dengan meyakini bahwa tahap perkembangan yang dikemukakannya berlaku universal, maka Erikson membantah sendiri pandangannya mengenai aspek sosial budaya.

Memang dalam penelitiannya mengenai tahap pembentukan identitas remaja, Erikson meneliti subyek dari tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Jerman, dan Rusia. Namun demikian, ia hanya menganalisis masing-masing satu subyek dari tiap negara tersebut. Pemilihan subyek semacam itu dianggap tidak representatif untuk menjelaskan perkembangan remaja. Belum lagi tahap perkembangan lainnya hanya merupakan hipotesisnya sendiri, yang tidak didasarkan pada observasi atau uji empiris apapun.

Kritik yang lebih tajam dan gencar datang dari kalangan feminis pada saat itu. Mereka menyetujui kritik sebelumnya bahwa teori Erikson tidak dapat diterapkan secara universal, apalagi pada perempuan. Mereka melihat bahwa delapan tahap perkembangan manusia (eight stages of man[2]) memang hanya untuk laki-laki. Mereka melandaskan kritik tersebut atas dua hal. Pertama, tahap perkembangan identitas, yang dianggap Erikson sebagai tahap perkembangan terpenting, hanya didasarkan pada analisisnya terhadap tiga subyek yang ketiganya adalah laki-laki. Kedua, meskipun Erikson mengobservasi baik anak laki-laki maupun perempuan pada suku Sioux dan Yurok, namun tulisannya dalam buku Childhood and Society hanya mengacu kepada anak laki-laki.

Contohnya dalam halaman 176 dari buku tersebut dituliskan,” The Yurok child is trained to be a fisherman”. Kata anak (child) tersebut jelas hanya mengacu kepada anak laki-laki. Hanya anak laki-laki yang dididik menjadi nelayan sedangkan anak perempuan di Yurok akan dipersiapkan menjadi ibu. Jadi ketika Erikson menggunakan kata child (anak) untuk mengacu kepada boy (anak laki-laki), maka ia seolah meniadakan anak perempuan dalam tulisannya. Erikson menganggap anak (child) hanya anak laki-laki (boy). ‘Kesalahan’ ini terlihat pula dalam kalimat berikut ini : Sioux limits itself in specializing the individual child for one main career, here the buffalo hunter (hal. 156). Memang benar bahwa di Sioux, anak laki-laki dipersiapkan untuk berkarir, yaitu sebagai pemburu banteng. Namun Erikson malah menekankan bahwa ada satu karir utama yang dipersiapkan untuk masing-masing anak (individual child), padahal yang dimaksudnya hanya untuk anak laki-laki. Jadi sekali lagi Erikson seolah melupakan bahwa yang dimaksud dengan kata anak tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan.

Selain itu, Erikson sendiri melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu terhadap tahap perkembangan perempuan. Khususnya dalam tahap perkembangan identitas, yang merupakan tahap paling penting menurut Erikson. Ia mengatakan bahwa pada perempuan, tahap identitas ini tidak akan tercapai jika ia belum mengembangkan keintiman (intimacy). Keintiman ini hanya dapat dicapai bila perempuan menjalin hubungan dengan lawan jenis, menjadi seorang istri, dan selanjutnya menjadi ibu. Jadi menurut Erikson, identitas seorang perempuan ditentukan oleh keberhasilannya menjadi seorang istri dan ibu.

Sedangkan pencapaian identitas laki-laki tidak ditentukan oleh apapun, termasuk keintiman. Oleh karena itu tidak heran jika delapan tahap perkembangan yang dikemukakan Erikson diklaim sebagai tahap perkembangan khusus laki-laki. Hal ini dikarenakan dalam tahap itu Erikson terlebih dahulu mengurutkan pembentukan identitas baru kemudian tahap pencapaian keintiman. Dengan demikian jelas Erikson hanya mengalamatkan teorinya tersebut untuk pada laki-laki. Jadi ketika ia mengklaim teori itu untuk manusia secara keseluruhan, ia telah menggunakan laki-laki sebagai prototip manusia.

Menghadapi kritik tersebut, Erikson mencoba untuk ‘benar-benar’ meneliti perempuan. Ia melakukan analisis permainan (play analysis), dan melihat perbedaan gender dalam permainan anak-anak. Ia menemukan bahwa anak laki-laki dan perempuan membentuk permainan yang berbeda. Anak perempuan akan membentuk permainan dengan tipe interior, yang damai dan tenang. Mereka mengelompokkan kursi dan meja (furniture), manusia, dan hewan dalam posisi statis. Manusia diaturnya dalam posisi duduk, seperti bermain piano misalnya. Selain itu, mereka juga menggambar dinding yang rendah, dengan pagar dan teras. Kadang mereka juga memasukkan adanya pengganggu, yang biasanya laki-laki dan hewan. Sementara anak laki-laki menampilkan permainan yang dinamis. Mereka membentuk bangunan yang tinggi dan kokoh, seperti menara. Bila membangun rumah, mereka membangun dinding yang kokoh, yang tidak memungkinkan bencana datang. Mereka juga membuat mobil-mobilan ataupun hewan berjalan, yang keduanya menunjukkan suatu pergerakan dinamis.

Dari perbedaan dalam bermain tersebut, Erikson mengambil kesimpulan yang justru menegaskan pandangannya mengenai identitas perempuan. Menurutnya perempuan memilih permainan yang lebih bersifat menuju dalam diri, bukan keluar, sesuai dengan anatominya yaitu rahim dan vagina. Dalam pandangan Erikson, rahim dan vagina yang dimiliki perempuan merepresentasikan suatu kedalaman. Jadilah perempuan hanya berada dalam ruang dalam (inner space); ruang domestik, dan tidak keluar menuju ruang publik. Rahim ini juga identik dengan fungsi perempuan untuk melahirkan. Dan karenanya, perempuan pun identik dengan merawat dan mengasuh.

Lebih lanjut Erikson memandang laki-laki sebagai pribadi yang aktif karena terkait dengan fungsi penis yang berrsifat aktif, sedangkan perempuan pasif terkait dengan fungsi vagina yang bersifat menerima. Jadi desain tubuh perempuan, yakni vagina dan rahimnya diyakini Erikson sebagai penentu pembentukan identitas perempuan. Dengan rahim dan vagina yang dimilikinya, maka perempuan terikat bukan hanya secara biologis melainkan juga psikologis dan etis untuk secara pasif merawat anak dan melayani suami.

Pandangan Erikson yang tertuliskan dalam bukunya berjudul The Inner & the Outer Space : Reflections on Womanhood pada tahun 1964 itu mendapatkan kritik keras dari kelompok perempuan. Menurut mereka, Erikson membatasi pilihan perempuan untuk berdiam diri di rumah, menjadi istri dan ibu. Lebih dari itu, Erikson pun dianggap sama saja seperti Sigmund Freud yang menentukan takdir perempuan hanya berdasarkan anatominya.

Menanggapi kritik yang semakin keras, pada tahun 1975, Erikson menerbitkan kembali sebuah buku berjudul Once More the Inner Space. Dari judulnya terlihat bahwa ia tetap meyakini konsep inner space pada perempuan. Namun ia mengemukakan beberapa hal untuk ‘menenangkan’ kelompok perempuan yang mengkritiknya. Ia menyatakan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki keterbatasan dalam membuat pilihan. Laki-laki dibatasi oleh definisi sejauh mana mereka mampu (how they can be), sedangkan perempuan oleh apa yang dapat ia lakukan (what they can do). Ia juga menyatakan bahwa sebenarnya laki-laki memiliki kecemasan akan keberfungsian penisnya. Laki-laki juga iri terhadap kapasitas maternal perempuan untuk melahirkan dan menjadi ibu.

Namun pendapat Erikson ini memiliki kelemahan. Penjelasannya menunjukkan bagaimana ia menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah. Dalam hal memilih apa yang dapat ia lakukan pun, perempuan masih dibatasi. Sementara laki-laki sudah berhasil melewati batasan tersebut. Laki-laki sudah boleh memilih, sehingga keterbatasannya hanya terletak pada sejauh mana ia mampu berkarya dalam bidang yang telah ia pilih tersebut. Selain itu, kecemburuan laki-laki terhadap kapasitas maternal perempuan pun toh tidak serta merta menjadikan kehidupan perempuan lebih baik dibanding laki-laki.

Setelah mengetahui lebih menyeluruh tentang konsep Erikson yang sebenarnya, bukan berarti konsep ini tidak dapat kita gunakan dalam menjelaskan perkembangan manusia. Memahami perkembangan laki-laki dengan menggunakan kerangka teori Erikson tentu bukan merupakan suatu kesalahan. Namun mengadopsi pandangannya tentang perempuan, sama saja dengan membatasi pilihan perempuan dalam mengaktualisasikan potensi dirinya.

Sumber Acuan

Paludi, Michele A. The Psychology of Women. USA : Prentice-Hall, Inc. 1998.

Williams, Juanita H. Psychology of Women. Behavior in a Biosocial Context. 3rd ed. USA : W.W. Norton & Company, Inc. 1987.

Selasa, 15 Juni 2010

TEORI KEPRIBADIAN SULLIVAN

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Anak sebetulnya telah nengalami kecemasan sejak bulan-bulan pertama dari kehidupan, bahkan menurut beberapa sarjana, bayi sebelum lahir sudah mengalami kecemasan. Akan tetapi manifestasi dari kecemasan ini sering kali tidak dimengerti oleh orang dewasa. Kecemasan dialami oleh setiap anak dalam setiap fase perkembangannya. Oleh sebab itu gangguan mental emosionil pada anak lebih sering terdapat daripada orang dewasa serta variasinya juga lebih banyak. Seorang anak tidak bisa dianggap sebagai seorang dewasa kecil. Pada umumnya dalam perkembangannya kearah kedewasaan anak melalui beberapa fase perkembangan yang tertentu.Dalam setiap fase perkembangan terjadi kecemasan yang tertentu dan yang bersifat spesifik untuk fase tersebut.

Menurut Sullivan, tahap perkembangan kepribadian yang paling krusial sesungguhnya bukan pada masa kanak-kanak awal, melainkan pada masa pra remaja. Sullivan percaya bahwa manusia dapat mencapai perkembangan yang sehat mereka sanggup mengalami keintiman sekaligus hawa nafsu terhadap pribadi lain yang sama.

Ironisnya, hubungan Sullivan sendiri dengan orang lain jarang yang memuaskan dirinya. Sebagai seorang anak, dia sering merasa kesepian dan secara fisik dikucilkan. Ketika remaja, dia menderita minimal satu episode skizofrenik. Dan ketika dewasa, dia mengalami hanya hubungan-hubungan antarpribadi yang dibuat-buat dan ambivalen. Meskipun begitu, bahkan mungkin karena kesulitan-kesulitan hubungan antarpribadi ini, Sullivan memberikan banyak kontribusi bagi kita untuk memahami kepribadian manusia.

BAB II
PEMBAHASAN

BIOGRAFI HARRY STACK SULLIVAN Harry Stack Sullivan lahir di kota pertanian kecil Norwich dekat New York pada 21 Februari 1892. Ia merupakan satu-satunya anak yang masih hidup dari orangtua Katolik Irlandia yang miskin. Ibunya, Ella Stack Sullivan berusia 32 tahun ketika menikah dengan Timothy Sullivan dan melahirkan Harry pada usia 39 tahun. Ayahnya adalah seorang laki-laki pemalu, menarik diri, dan perndiam yang tidak pernah berhubungan akrab dengan Harry sampai istrinya meninggal dan Harry sudah menjadi seorang dokter. Sewaktu kecil, Sullivan diasuh oleh nenenknya ketika ibunya pergi secara misterius. Pada tahun 1911 ia masuk ke Chicago College of Medicine and SurgeryI dan menyelesaikan studi kedokterannya pada tahun 1915 namun ia tidak mendapatkan gelarnya dikarenakan ia belum membayar uang kuliah dan belum menghabiskan semua mata kuliah dan masih harus menjalani kuliah praktik.

Pada tahun 1921, Sullivan bekerja di Rumah Sakit St. Elizabeth di Washington, D.C dan berhenti pada tahun 1930. Lalu, Sullivan pindah ke New York City dan membuka praktik pribadi, berharap dapat menambah pengertiannya tentang hubungan-hubungan antarpribadi dengan menenliti gangguan-gangguan yang bukan skizofrenik, khususnya mereka yang memiliki sifat obsesif. Selama tinggal di New York, Sullivan dipercaya menjadi presiden pertama yayasan dan menjadi editor jurnal Psychiatry. Pada Januari 1949, Sullivanmenghadiri pertemuan WorldFederation for Mental Health di Amsterdam. Ketika dalam perjalanan pulangnya, 14 Januari 1949, ia meninggal karena pembuluh otaknya pecah di sebuah kamar hotel di Paris, beberapa minggu setelah ulang tahunnya yang ke 57.

TEORI INTERPERSONAL Sullivan berkali -kali menegaskan bahwa kepribadian adalah suatu entitas atau kesatuan hipotetis belaka “ suatu ilusi “ yang tidak dapat diobservasi atau diteliti terlepas dari situasi-situasi antarpribadi, yang menjadi unit penelitian adalah antarpribadi dan bukan orangnya. Organisasi kepribadian terdiri dari peristiwa-peristiwa antarpribadi, dan bukan peristiwa-peristwa intrapsikis, kepribadian hanya memanifestasikan dirinya ketika orang bertingkah laku dalam hubungan dengan salah seorang atau beberapa individu lain. Meskipun Sullivan mengakui bahwa kepribadian hanya berstatus hipotetis, namun ia menegaskan bahwa kepribadian merupakan pusat dinamik dari berbagai proses yang terjadi dalam serangkaian medan antarpribadi.

Kontribusi utama Sullivan bagi teori kepribadian adalah konsepsinya tentang tahap-tahap perkembangan. Selain itu, Sullivan juga memaparkan beberapa terminologi yang berhubungan dengan teori interpersonalnya.

BERBAGAI TEGANGAN Seperti Freud dan Jung, Sullivan melihat kepribadian sebagai sebuah system energi. Energi dapat eksis sebagai tegangan ataupun sebagai aksi itu sendiri. Transformasi-transformasi energi itu sendiri akan mengubah berbagai tegangan menjadi perilaku tersembunyi maupun terang-terangan, dan dimaksudkan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan mereduksi kecemasan. Tegangan adalah sebuah potensialitas untuk bertindak yang dapat atau tidak dialami dalam kesadaran. Karena itu, tidak semua tegangan bias dirasakan secara sadar. Banyak tegangan seperti kecemasan, perasaan, kelelahan, rasa lapar, dan kepuasan seksual, dirasakan namun tidak selalu di tingkatan sadar. Malah faktanya semua tegangan yang dirasakan sekurang-kurangnya merupakan hasil dari distorsi-distorsi parsial terhadap realitas. Sullivan menemukan dua tipe tegangan, yaitu :

Berbagai Kebutuhan Kebutuhan adalah tegangan-tegangan yang dihasilkan oleh ketidakseimbangan biologis antara seseorang dan lingkungan fisiokimianya, baik di dalam maupun di luar organisme. Kebutuhan-kebutuhan bersifat episodik – sekali terpuaskan, secara temporer kehilangan kekuasaannya namun, setelah sejumlah waktu akan muncul lagi. Meskipun kebutuhan awalnya memiliki komponen biologis namun, banyak darinya hadir dalam situasi hubungan antarpribadi.

Kebutuhan antarpribadi yang paling mendasar adalah kelembutan. Tidak seperti kebutuhan lain, kelembutan mengisyaratkan tindakan-tindakan dari sekurang-kurangnya dua orang. Contohnya, kebutuhan bayi untuk menerima kelembutan bisa diekspresikan sebagai tangisan, senyuman, atau mendekut, sementara kebutuhan ibu untuk memberikan kelembutan bisa diubah menjadi sentuhan, timang-timang, atau pelukan.

Kelembutan adalah kebutuhan umum karena dia berkaitan dengan seluruh perasaan kesejahteraan seseorang. Kebutuhan-kebutuhan umum ini, yang meliputi juga oksigen, makanan, dan air, berkebalikan dengan kebutuhan-kebutuhan zonal, yang muncul dari zona-zona tubuh tertentu. Beberapa zona tubuh merupakan instrumen untuk memuaskan kebutuhan umum maupun kebutuhan zonal. Di kehidupannya yang paling dini, beragam zona tubuh mulai memainkan peran yang signifikan dan kekal dalam hubungan antarpribadi. Ketika memuaskan kebutuhan-kebutuhan umum akan makanan, air, dan lain-lain itu, bayi menghabiskan banyak energi lebih yang dibutuhkan, dan energi yang berlebih-lebihan ini ditransformasikan menjadi mode-mode karakteristik perilaku yang konsisten, yang disebut Sullivan sebagai dinamisme.

Kecemasan Tipe tegangan kedua adalah kecemasan. Berbeda dari tegangan-tegangan kebutuhan, yaitu bahwa yang kedua lebih berjarak dari yang pertama, lebih bercampur aduk, dan tidak memerlukan tindakan-tindakan konsisten untuk meredakannya. Sullivan merumuskan bahwa kecemasan ditransfer melalui orangtua kepada bayinya lewat proses empaty. Tanda-tanda kecemasan atau rasa tidak aman apa pun kebanyakan disambut oleh upaya orangtua untuk memuaskan kebutuhan bayi mereka. contohnya, seorang ibu member makan bayinya yang menangis karena cemas, karena keliru mengartikan rasa cemas itu dengan rasa lapar. Jika bayi enggan menerima susu, maka ibu mungkin akan menjadi lebih cemas lagi pada bayinya. Akhirnya, kecemasan bayi menjadi mencapai sebuah tingkatan yang bercampur aduk dengan aktifitas mengisap dan menelan. Dengan kata lain, kecemasan beroperasi terbalik dengan tegangan-tegangan kebutuhan dan mencegah agar kebutuhan-kebutuhan tidak terpuaskan.

Kecemasan juga memiliki efek pelenyapan pada orang dewasa. Ini adalah daya pemecah belah utama yang menghalangi perkembangan hubungan-hubungan antarpribadi yang sehat. Sullivan menggambarkan kecemasan seperti sebuah ledakan di dalam kepala, membuat manusia tidak sanggup belajar, memperbaiki ingatan, memfokuskan persepsi, bahkan mungkin bias terjerumus ke dalam amnesia total. Namun, di antara tegangan-tegangan itu kecemasan mempertahankan status quo bahkan terhadap semua kerusakan yang sudah dialami manusia. Jika tegangan lain menghasilkan tindakan-tindakan yang secara khusus mengarah kepada pembebasan, maka kecemasan menghasilkan perilaku-perilaku yang mencegah manusia belajar dari kesalahan-kesalahan mereka, mempertahankan agar mereka terus mengejar harapan kanak-kanak terhadap rasa aman, dan umumnya memastikan agar manusia tidak akan pernah bisa belajar dari pengalaman-pengalaman mereka.

Sullivan menekankan bahwa rasa cemas dan kesepian adalah keunikan di antara segala pengalaman, yaitu pengalaman ini benar-benar tidak diinginkan dan diharapkan. Karena rasa cemas itu sangat menyakitkan, manusia memiliki kecenderungan secara alamiah untuk menghindarinya, secara inheren menyukai kondisi euphoria, atau penghilangan tegangan secara total. Sullivan juga membedakan antara rasa cemas dan rasa takut. Rasa cemas biasanya berasal dari situasi-situasi hubungan antarpribadi yang kompleks, hadir dalam kesadaran walau hanya samar-samar, dan tidak mempunyai nilai positif. Rasa cemas juga dapat menghalangi pemuasan kebutuhan seseorang. Apabila kecemasan ditransformsikan terhadap tegangan, barulah ia dapat menghasilkan tindakan-tindakan yang bisa ditangani. Sedangkan rasa takut adalah lebih bias dibedakan, asal-usulnya lebih mudah ditemukan daripada rasa cemas, dan membantu manusia dalam memenuihi kebutuhannya.

BERBAGAI DINAMISME Transformasi-transformasi energi menjadi terorganisasikan sebagai pola-pola tingkah laku tipikal yang mencirikan perilaku seseirang disepanjang hidup mereka. Sullivan menyebut pola-pola perilaku ini dinamisme, mrupakan pola tingkah laku yang menetap dan berulang-ulang sehingga bias dikatakan sebagai suatu kebiasaan. Dinamisme memiliki dua kelas utama, yaitu yang pertama kelas yang terkait dengan zona-zona spesifik tubuh, dan yang kedua kelas yang terkait dengan tegangan-tegangan. Kelas kedua ini terdiri atas tiga kategori, yaitu :

Disjungsi ( Pemisahan Diri) Merupakan perilaku-perilaku merusak yang berhubungan dengan dendam (malevolence). Kedendaman adalah dinamisme yang ditandai dengan kejahatan dan kebencian, dicirikan oleh persaan seperti hidup di tengah-tengah musuh. Rasa dendam berasal dari pengalaman buruk yang dirasakan anak pada usia 2-3 tahun saat tindakan-tindakan anak yang mengharapkan kelembutan ibu ditolak, diabaikan, atau berhadapan dengan rasa cemas,dan rasa sakit. Dinamisme ini juga bias diakibatkan ketika orangtua berusaha mengontrol perilaku anak dengan rasa sakit fisik atau tuntutan bagi pembuktian, beberapa anak mulai mengadopsi perilaku dendam demi mempertahankan dan melindungi diri mereka ekspresi kelembutan. Bentuk dinamisme kedendaman ini dapat juga diekspresikan melalui tindakan kecemasan, pemalu, kenakalan, bentuk-bentuk perilaku social atau antisocial.

Isolating Merupakan pola-pola perilaku yang tidak berkaitan dengan interpersonal seperti nafsu (lust). Nafsu adalah sebuah kecenderungan untuk mengasingkan diri, tidak membutuhkan orang lain untuk pemuasannya. Dia memanifestasikan dirinya sebagai perilaku autoerotic, walaupun melibatkan orang lain sebagai objeknya. Dinamisme ini muncul pada saat remaja, sering disalah artikan sebagai ketertarikan seksual. Nafsu juga seringkali mendorong remaja melakukan tindakan-tindakan yang ditentang oleh orang lain, yang semakin meningkatkan rasa cemas dan menurunkan perasaan harga diri. Selain itu, nafsu juga sering kali menghindari hubungan intim, khususnya selama masa remaja awal ketika masih mudah bercampur aduk dengan ketertarikan sosial.

Konjungtif Merupakan pola-pola perilaku yang member manfaat kepada individu, seperti keintiman ( intimacy ) dan sistem diri ( self system ). Keintiman berkembang dari hubungan penuh kelembutan mencakup hubungan interpersonal yang erat diantara dua orang yang posisinya setara. Keintiman tidak boleh dicampuradukkan dengan ketertarikan seksual. Bahkan pada kenyatannya, keintiman ini sudah mulai berkembang menjelang masa puberitas diantara dua orang anak yang menilai temannya itu setara dengan dirinya. Dinamisme ini jarang terjadi dalam hubungan anak dan orangtua, kecuali ketika sang anak sudah dewasa dan melihat satu sama lain itu setara.Keintiman merupakan sebuah dinamisme yang menyatukan yang cenderung menyimpulkan reaksi-reaksi cinta dari orang lain sehinnga dapat menurunkan tingkat kecemasan dan kesepian, hal ini menjadi sebuah pengalaman berharga yang banyak diinginkan orang yang sehat.

Self system merupakan pola perilaku yang paling kompleks dan komprehensif, sebuah pola perilaku yang konsisten dalam memelihara rasa aman interpersonal seseorang dan melindungi dirinya dari kecemasan. Dinamisme ini muncul lebih awal dari keintiman yaitu sekitar usia 12-18 bulan ketika sang anak mengembangkan intelegensia dan pempresiksian, mereka mulai belajar perilaku mana yang akan menimbulkan atau menurunkan kecemasan. Kemampuan ini menyediakan bagi sistem diri peranti peringatan yang sudah terbangun dalam tubuhnya yang dapat berfungsi sebagai sinyal, memperingatkan individu bila ada pengalaman interpersonal yang mengancam keamanan diri dan akan menimbulkan kecemasan. Ketika dinamisme ini berkembang, manusia mulai membentuk sebuah gambaran tentang dirinya. Karena itu, seseorang akan langsung menyangkal atau mengubah pengalaman interpersonalnya apabila hal itu bertentangan dengan harga dirinya dan ia akan langsung mengartikan hal tersebut sebagai sesuatu yang mengancam rasa aman mereka. karena tugas utama sistem diri adalah melindungi individu dari kecemasan, sebagai konsekuensinya, individu berusaha mempertahankannya melalui pengoperasian rasa aman yang bertujuan untuk mengurangi perasaan-perasaan tidak aman atau kecemasan yang dihasilkan dari kepercayaan diri yang terancam bahaya. Ada dua pengoperasian rasa aman yang terpenting, yaitu :

Disosiasi Mecakup impuls-impuls, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan yang ditolak untuk masuk kedalam kesadaran. Pengalaman terus mempengaruhi kepribadian di tingkat bawah sadar seperti gambaran diri dalam mimpi, mimpi di siang bolong, dan aktifitas yang tidak direncanakan lainnya yang berada di luar kesadaran dan diarahkan untuk mempertahankan rasa aman interpersonal.

Ketidakpedulian Selektif Merupakan sebuah bentuk penolakan dari seorang individu untuk melihat sesuatu yang tidak ingin dilihatnya. Hal ini berbeda dari disosiasi, hal ini lebih bersumber kepada seberapa jauh usaha dari kita sendiri untuk tidak mengingat pengalaman yang tidak konsisten dengan sistem diri kita. Sebagai contohnya, kita melupakan bahwa kita pernah melakukan sebuah kenakalan.

BERBAGAI PERSONOFIKASI Merupakan suatu gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri atau orang lain. Personifikasi adalah perasaan, sikap, dan konsepsi kompleks yang timbul karena mengalami kepuasan kebutuhan atau kecemasan. Sullivan melukiskan tiga personifikasi dasar yang berkembang selama masa bayi, yaitu :

*Ibu Jahat, Ibu Baik ( Bad Mother, Good Mother* ) Personifikasi ibu jahat tumbuh dari pengalaman-pengalaman bayi yang berkaitan dengan proses penerimaan makanan yang tidak memuaskan dan bias tertuju kepada ibu, pengasuh, ayah, atau semua orang yang terlibat dalam situasi perawatan. Sedangkan bayi akan merasakan personifikasi ibu baik ketika sang bayi mendapatkan perlakuan yang baik seperti kelembutan, kehangatan, juga ketenangan saat proses penerimaan makanan. Kedua personifikasi ini akan berkombinasi membentuk sebuah personifikasi yang kompleks yang terdiri atas pengontrasan kualitas-kualitas yang diproyeksikan kepada satu pribadi yang sama. Sullivan mengatakan, walaupun sang bayi telah mengembangkan bahasa, kedua gambaran ibu yang bertentangan ini dapat hadir bersamaan dengan mudah.

Personifikasi Aku ( Me Personifications ) Selama periode pertengahan masa bayi, seorang anak memerlukan tiga personifikasi aku yang membentuk blok-blok bangunan personifikasi diri. Setiap personifikasi berkaitan untuk memunculkan konsepsi tentang “aku” atau “tubuhku”. Personifikasi aku-jahattumbuh dari pengalaman-pengalaman dihukum dan tidak disetujui yang diterima bayi dari ibu-pengasuh mereka. kecemasan yang dihasilkan cukup kuat untuk mengajarkan bayi bahwa mereka jahat. Namun, tidak begitu jahat untuk menyebabkan pengalaman dijarakkan atau tidak dipedulikan. Seperti porsonifikasi yang lain, personifikasi ini juga dibentuk dari situasi interpersonal, yaitu bayi dapat belajar bahwa mereka jahat hanya dari seseorang yang lain, biasanya dari ibu-jahat. Personifikasi aku-baik dihasilkan dari pengalaman bayi dengan penghargaan dan persetujuan. Bayi merasa baik-baik saja dengan diri mereka ketika dapat mengalami ekspresi kelembutan ibu. Pengalaman ini dapat menghilangkan kecemasan dan mengbangkitkan personifikasi aku-baik. Namun, kecemasan berat yang muncul tiba-tiba dapat menyebabkan bayi membentuk personifikasi bukan-aku. Personifikasi bukan-aku ini juga dapat dialami oleh orang dewasa dan diekspresikan dalam mimpi, dan reaksi-reaksi penjarakkan lainnya. Sullivan percaya bahwa pengalaman-pengalaman menakutkan ini selalu didahului oleh sebuah peringatan. Ketika orang dewasa terpukul oleh kecemasan berat yang mendadak, mereka pun dikuasai oleh emosi yang msiterius. Meskipun manusia mengalami ketidakmampuan dalam hubungan interpersonal mereka, emosi misterius masih bias berfungsi sebagai sinyal yang baeharga untuk mendekati reaksi-reaksi skizofrenik. Emosi yang misterius bias juga dialami dalam mimpi.

BERBAGAI TINGKATAN KOGNITIF Kognisi atau pengetahuan dalam hubungannya dengan kepribadian dibagi menjadi tiga tingkatan oleh Sullivan. Tingkatan-tingkatan ini mengacu kepada cara-cara mengamati, membayangkan, dan memahami.

Tingkatan Prototaksis Merupakan sebuah rangakaian suatu keadaan yang terpisah-pisah dari organisme yang melakukan penginderaan. Pada bayi yang baru lahir, akan merasa lapar dan sakit, dan pengalaman-pengalaman prototaksis ini menghasilkan tindakan yang bias diamati, seperti mengisap atau menangis. Sebagai pengalaman yang tidak terbedakan, peristiwa-peristiwa prototaksi melampaui kemampuan kesadaran kita untuk mengingatnya kembali. Pada orang dewasa, pengalaman-pengalaman prototaksi mengambil bentuk sensasi-sensasi, imajinasi, perasaan, suasana hati, dan impresi-impresi sesaat. Imaji-imaji primitive mimpi dan kesadaran akan hidup semacam ini hanya bisa dipahami samar-samar, bahkan mungkin tenggelam sepenuhnya di alam bawah sadarnya. Meskipun manusia tidak sanggup mengomunikasikan gambaran-gambaran ini kepada orang lain, namun, terkadang mereka dapat menceritakan kepada orang lain bahwa mereka baru saja mengalami suatu sensasi yang aneh yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Tingkatan Parataksis Merupakan pengalaman-pengalaman yang bersifat pralogis dan biasanya muncul ketika seseorang mengasumsikan sebuah hubungan kausal; penyebab dan efek; antara dua peristiwa yang kebetulan muncul bersamaan. Kognisi-kognisi parataksis lebih bias dibedakan daripada prototaksis namun, pemaknaan mereka masih pribadi. Karena itu, kognisi-kognisi ini dapat dikomunikasikan dengan orang lain hanya dalam bentuk yang sudah didistorsi. Contohnya seperti ketika seorang anak dikondisikan untuk berkata “tolong” agar dapat memperoleh permen. Jika kata-kata “permen” dan “tolong” muncul bersamaan beberapa kali, maka anak pada akhirnya sang anak akan menyimpulkan bahwa permintaannya itulah yang menyebabkan kemunculan permen yang merupakan sebuah distorsi parataksis, bahwa hubungan kausal hadir di antara dua peristiwa yang hadir hampir secara berturut-turut. Namun, kata “tolong” bukanlah penyebab kemunculan permen. Sebuah pribadi yang penuh pengertian harus hadir lebih dulu untuk mendengar kata-kata itu, dan dia juga harus sanggup dan bersedia menghargai permintaan itu. Perilaku-perilaku yang baik dari orang dewasa bisa juga muncul dari pola pikir parataksis semacam ini. Sullivan yakin bahwa pemikiran kita tidak pernah beranjak dari tingkat parataksis, bahwa kita melihat hubungan kausal antara pengalaman-pengalaman dimana pengalaman yang satu tidak ada kaitannya dengan pengalaman yang lain.

Tingkatan Sintaksis Merupakan pengalaman-pengalaman konsensual yang valid dan yang dapat dikomunikasikan secara akurat kepada orang lain. Simbol yang paling umum yang digunakan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain adalah simbol-simbol yang bersifat verbal. Sullivan mengatakan tingkatan sintaksis kognisi menjadi semakin mendominasi ketika anak mulai mengembangkan bahasa formal. Namun begitu, dominasi ini tidak pernah menghilangkan kognisi prototaksis yang muncul sebelumnya. Pengalaman orang dewasa berlangsung di ketiga tahapan kognisi ini.

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN Menurut Sullivan, kepribadian berkembang dalam tahap-tahap perkembangan tertentu. Ancaman bagi hubungan interpersonal berlangsung di seluruh tahapan ini, dan kehadiran orang lain tidak bisa dilepaskan dari perkembangan seseorang sejak masa bayi sampai dewasa. Sullivan berhipotesis bahwa, “ ketika seseorang melewati salah satu dari ambang-ambang yang kurang lebih tertentu dari suatu era perkembangan, segala sesuatu yang sudah pergi sebelumnya bisa menjadi terbuka secara masuk akal kepada pengaruh-pengaruh. Ada tujuh tahapan perkembangan yaitu :

Infancy ( Masa Bayi ) Masa ini dimulai dari kelahiran sampai anak dapatmengembangkan ujaran yang tersrtikulasikan, biasanya sekitar 18 sampai 24 bulan. Sullivan yakin bahwa bayi dapat menjadi manusia melalui kelembutan yang diterimanya dari ibu-pengasuh. Bayi tidak dapat bertahan tanpa ibu-pengasuh yang menyediakan makanan, perlindungan, kehangatan, kontak fisik, dan membersihkan kotorannya. Namun, hubungan empatik antara ibu dan bayi selalu membawa dampak bagi perkembangan rasa cemas bayi. Kecemasan sang ibu dapat timbul dari kecemasan yang sudah dia pelajari sebelumnya, namun kecemasan sang bayi selalu berkaitan dengan situasi pengasuhan dan zona oral. Perilaku bayi untuk menyuarakan apa yang dialaminya tidak cukup kuat untuk mengatasi rasa cemasnya. Jadi, kapanpun bayi merasa cemas, mereka akan mengusahakan apapun untuk bisa mereduksi kecemasannya itu. Sullivan menyatakan, pada akhirnya, bayi memilah-milah antara sesuatu yang berkaitan dengan euphoria relative dalam proses pemberian makan dan kecemasan yang selalu mengancam dan tidak bisa diatasi. Terkadang, sang ibu salah mengartikan kecemasan sang bayi yang diekspresikannya lewat tangisan menjadi rasa lapar sehingga sang ibu member makan sang bayi. Situasi yang berlawanan ini akan memengaruhi kemampuan antara sang ibu dan bayi untuk bekerja sama. Tegangan yang memuncak ini akan membuat bayi kehilangan kemampuannya untuk menerima kepuasan dan akan mengalami kesulitan bernapas sehingga wajahnya membiru. Namun, perlindungan yang sudah terpasang dalam dirinya yang dapat mencegah bayi dari kematian. Perlindungan ini membiarkan bayi tertidur meskipun perutnya terasa lapar.
Saat menerima makanan bayi juga memuaskan kebutuhannya akan kelembutan. Kelembutan yang diterimabayi pada saat itu, membantu pegasuh dalam memperkenalkan bayi kepada beragam strategi yang diperlukan dalam situasi hubungan interpersonal. Di sekitar pertengahan masa ini bayi mulai belajar bagaimana berkomunikasi lewat bahasa. Periode masa bayi ini dicirikan oleh bahasa autistic, yaitu bahasa pribadi yang sedikit memahami kepribadian orang lain bahkan tidak sama sekali. Permulaan bahasa sintaksis dan akhir dari masa bayi ditandai dengan komunikasi yang dilakukan oleh bayi yang berlangsung dalam bentuk ekspresi wajah dan suara dari beragam fenomena sampai pada akhirnya gerak-gerik tubuh dan suara ucapan memiliki makna yang sama bagi bayi dan orang dewasa.

Masa Kana-Kanak ( Childhood ) Dimulai dengan kedatangan bahasa sintaksis dan terus berlanjut sampai kemunculan kebutuhan akan rekan bermain yang statusnya setara, biasanya sekitar 2 sampai 6 tahun. Personifikasi ganda ibu hilang dan perspeksi anak tentag ibu lebih kongruen dengan fakta ibu yang riil. Namun, peraonifikasi ibu-baik dan ibu-jahat tetap ada. Pada tahap ini anak juga sudah mulai bisa membedakan beragam orang yang sebelumnya membentuk konsep mereka tentang ibu-pengasuh, sehingga sekarang mereka dapat membedakan ibu dan ayah dan melihat bahwa masing-masing memiliki peran yang berbeda. Anak juga mulia membangun bahasa sintaksis dimana mereka harus melabeli perilaku baik atau jahat dengan mengimitasi orangtua mereka lebih dulu. Perilaku baik dan jahat pada tahap ini dioengaruhi oleh nilai sosial dan tidak lagimengacu pada hadir-tidaknya tegangan menyakitkan atau kecemasan.

Selama masa kanak-kanak, emosi menjadi timbal-balik. Hubungan antaraa ibu dan anak menjadi lebih pribadi dan tidak terlalu satu-sisi lagi. Bukannya melihat ibu sebagai baik atau jahat berdasarkan bagaimana dia memuaskan rasa lapar, anak mulai mengevaluasi ibu secara sintaksis berdasarkan apakah ibu menunjukkan perasaan lembut yang timbal-balik padanya dan mengembangkan sebuah hubungan berdasarkan pemuasan mutualistik kebutuhan-kebutuhan mereka berdua, ataukah ibu menunjukkan perilaku penolakan. Selain orangtua, anak-anak yang berusia prasekolah seringkali memiliki hubungan segnifikan yang lain – seorang teman bermain imajiner. Teman iedetik ini memampukan anak memiliki hubungan yang aman dan nyaman yang menghasilkan sedikit saja rasa cemas. Orang dewasa kadang-kadang mengamati anak-anak yang berusia prasekolah bercakap-cakap dengan teman imajiner itu, memanggilnya dengan nama tertentu, bahkan mungkinmendesak orangtuanya untuk menyediakan tempat tambahan di meja makan atau mobil atau tempat tidur untuknya. Selain itu, banyak orang dewasa dapat mengingat pengalaman-pengalaman kanak-kanak mereka sendiri dengan teman-teman bermain imajiner.

Sullivan menekankan bahwa memiliki teman imajiner bukan tanda ketidakstabilan atau patologis, melainkan peristiwa positif yang dapat membantu anak-anak menjadi siap untuk menjalin keintiman dengan teman yang riil selama tahap praremaja nanti. Teman-teman bermain ini menawarkan sebuah kesempatan untuk berinteraksi dengan pribadi lain yang membuat mereka merasa aman dan tidak akan meningkatkan tingkat kecemasan mereka. hubungan yang nyaman dan tidak mengancam dengan teman bermain imajiner mengizinkan anak untuk menjadi lebih independen dari orangtua dan menjalin hubungan akrab dengan teman-temannya di dunia nyata paad tahun-tahun berikutnya. Sullivan juga menyebutkan masa kanak-kanak sebagai periode akulturasi yang cepat. Selain menguasai bahasa, anak-anak juga belajar pola-pola budaya kebersihan dan peran yang diharapkan dari setiap jenis kelamin. Mereka juga belajar dua proses penting, yaitu dramatisasi adalah upaya bertindak atau bersuara seperti figure-figur otoritas yang signifikan, dan kesibukan adalah strategi untuk menghindari situasi-situasi yang memunculkan rasa cemas dan rasa takut dengan tetap sibuk dengan aktivitas-aktivitas sebelumnya yang sudah terbukti berguna atau dihargai.

Perilaku dendam mencapai puncaknya selama usai sekolah ini, memberikan kepada anak sebuah perasaan mendalam hidup dalam kebencian atau negeri musuh. Pada waktu yang sama, anak-anak juga belajar bahwa masyarakat sudah menenpatkan batasan-batasan tertentu bagi kebebasan mereka. dari batasan-batasan ini dan dari prngalaman-pengalaman dengan persetujuan dan perlarangan, anak lalu mengembangkan dinamisme-siri mereka, yang membantu mereka menangani rasa cemas dan menstabilkan kepribadian mereka. namun jika terlalu banyak mengenal stabolitas, sistem-diri akan sulit membuat perubahan-perubahan ke depan.

Masa Anak Muda ( Juvenile Era ) Masa anak muda dimulai dengan kemunculan kebutuhan akan teman sebaya atau teman bermain yang status dan tujuannya sama ketika seorang anak menemukan seorang teman karib untuk memuaskan kebutuhannya akan keintiman. Tahap ini pada umumnya ketika anak berusia 6 sampai 81/2 tahun. Selama tahap anak muda, Sullivan yakin seorang anak belajar berkompetisi yang dapat ditemukan diantara anak-anak meskipun beragam latar belakang budayanya. Selain itu, anak juga belajar untuk berkompromi dan juga kerja sama yang mencakup semua proses yang dibutuhkan untuk bisa berjalan bersama orang lain. Anak di masa anak muda harus belajar bekerja sam dengan orang lain di dunia hubungan interpersonal yang nyata.

Selama masa anak muda, anak-anak berkumpul dengan anak-anak lain yang posisinya setara. Hubungan satu-satu masih jarang, tetapi andaipun sudah ada, hubungan ini lebih didasarkan kepada rasa nyaman daripada keintiman sejati. Anak laki-laki dan perempuan bermain satu sama lain tanpa memperhitungkan perbedaan gender di antara mereka. meskipun hubungan diadik permanen baru akan terjai di depan, namun, anak-anak di usia ini mulai membuat pemilahan di antara mereka sendiri dan dari orang dewasa. Mereka melihat guru yang satu lebih lembut daripada yang lain, orangtua yang satu lebih lunak daripada yang lain. Dunia nyata semakin menjadi focus perhatian, mengizinkan mereka untuk beroperasi semakin besar di tingkatan sintaksis.

Di akhir tahap anak muda, seorang anak mestinya mengembangkan sebuah orientasi menuju kehidupan yang membuatnya lebih mudah untuk menangani secara konsisten rasa cemas, memuaskan kebutuhan zonal, dan kelembutan, dan menetapkan tujuan-tujuan yang didasarkan kepada memori dan prediksi. Orientasi menuju kehidupan ini mempersiapkan pribadi untuk menjalin hubungan antarpribadi yang lebih dalam ke depan.

Masa Praremaja ( Preadolescence ) Masa praremaja dimulai pada usia 81/2 sampai 13 tahun. Karakteristik praremaja yang utama adalah terbentuknya kemampuan untuk mengasihi. Sebelumnya, semua hubungan antarpribadi didasarkan hanya kepada pemuasan kebutuhan personal namun, selama masa praremaja, keintiman, dan kasih menjadi esensi persahabatan, keintiman melibatkan sebuah hubungan yang di dalamnya dua rekanan menvalidkan secara konsensual nilai pribadi satu sama lain. Kasih ini hadir saat kepuasan atau rasa aman pribadi lain menjadi sama signifikannya dengan kepuasan atau rasa aman dirinya.

Hubungan intim praremaja biasanya melibatkan pribadi lain dari jenis kelamin yang sama dan kira-kira juga dengan usia atau status social yang sama. Mengidolakan guru atau bintang film bukanlah hubungan intim karena bukan hubungan konsensual yang valid. Hubungan-hubungan signifikan usia ini tipikalnya berbentuk persahabatan anak laki-laki dengan anak laki-laki, dan anak perempuan dengan anak perempuan. Berusaha disukai rekan sebaya lebih penting bagi anak-anak praremaja daripada disukai guru atau orangtua. Persahabatan sanggup mengekspresikan dengan bebas opini-opini dan emosi-emosi satu samalain tanpa takut direndahkan atau dipermalukan. Pertukaran bebas pikiran dan perasaan pribadi ini menginisasi praremaja ke dalam dunia keintiman. Setiap persahabatn menjadi manusiawi sepenuhnya, mengalami perluasan kepribadian, dan mengambangkan ketertarikan lebih luas pada kemanusiaan semua orang.

Sullivan percaya bahwa masa praremaja adalah masa hidup yang paling tidak terganggu dan bebas. Figure orangtua masih signifikan, meskipun sekarang mereka dilihat dalam cahaya yang lebih realistic. Anak-anak praremaja dapat mengalami kasih yang tidak egois yang belum tercampuri nafsu. Semangat kerja sama yang mereka dapatkan selama masa anak muda berkembang menjadi kolaborasi atau kapasitas untuk bekerja dengan pribadi lain demi keejahteraan pribadi tersebut. Pengalaman-pengalaman selama praremaja sangat kritis bagi perkembangan masa depan masa ini, mereka akan mengalami kesulitan serius dalam hubungan interpersonal selanjutnya. Namun, pengaruh-pengaruh negative yang sebelumnya dapat dikikis oleh efek-efek positif dari hubungan intim ini. Bahkan sikap dendam dapat dibalikkan, dan banyak masalah kenakalan lain dapat dihilangkan dengan ppencapaian keintiman. Dengan kata lian, kekeliruan yang sudah dibuat selama tahapan-tahapan sebelumnya bisa diselesaikan di masa praremaja, sedangkan kekeliruan yang dibuat pada masa praremaja sulit diatasi.

Masa Remaja Awal ( Early Adolescence ) Masa remaja awal dimulai ketika anak berusia 13 sampai 15 tahun. Masa ini dimulai dari pubertas dan berakhir dengan kebutuhan akan cinta seksual terhadap seseorang. Masa ini ditandai oleh meledaknya ketertarikan genital dan datangnya hubungan yang sarat-nafsu. Kebutuhan akan keintiman yang dicapai selama tahapan-tahapan sebelumnya terus berlanjut pada masa remaja-awal ini. Namun, sekarang ditemani oleh sebuah kebutuhan yang parallel namun terpisah. Selain itu, rasa aman, atau kebutuhan untuk bebas dari rasa cemas, masih tetap aktif slama periose ini. Kalau begitu, keintiman, nafsu, dan rasa aman sering kali tumpang-tindih dan mengalibatkan stress dan konflik bagi remaja muda, minimal dengan tiga cara, yaitu :

Pertama nafsu mengganggu operasi-operasi rasa aman karena aktivitas genital sreing kali berakar pada rasa cemas, rasa bersalah, dan rasa dipermalukan.

Kedua keintiman juga dapat mengancam rasa aman, seperti saat para remaja muda mencari persahabatan dengan lawan jenisnya. Upaya-upaya ini dibebani keraguan-diri, perasaan tidak pasti dan perasaan dibodohi orang lain, yang dapat mengarah pada kehilangan percaya diri dan meningkatnyan kecemasan.

Ketiga keintiman sering kali berkonflik dengan nafsu selama masa remaja-awal. Meskipun teman-teman intim dengan rekan sebaya yang setara statusnya masih penting, namun, tegangan-tegangan genital yang kuat mendesak untuk dipuaskan tanpa didasarkan pada kebutuhan akan keintiman.

Karena itu, para remaja muda dapat tetap mempertahankan persahabatn intim yang sudah mereka peroleh dari masa praremaja sembari merasakan nafsu terhaadp orang-orang yang tidak mereka sukai bahkan mungkin tidak mereka kenal. Karena dinamisme nafsu bersifat biologis, dia menguasai pubertas tak peduli hubungan antarpribadi sudah dibanguan sebelumnya atau individu sudah siap menerimanya. Sullivan percaya bahwa masa remaja-awal adalah titik dalam perkembangan kepribadian. Pribadi dapat keluar dari tahapan ini entah dengan dominasi keintiman dan dinamisme nafsu, atau menghadapi kesulitan-kesulitan serius dalam hubungan antarpribadi selama tahapan-tahapan berikutnya. Meskipun penyesuaian seksual penting bagi perkembangan kepribadian, Sullivan merasa bahwa masalah yang riil terletak dalam jalan-bersama dengan pribadi lain.

Masa Remaja Akhir ( Late Adolescence ) Masa remaja-akhir dimulai saat anak berusia 15 tahun keatas dan ketika anak muda sanggup merasakan nafsu dan keintiman terhadap satu orang yang sama dan akan berakhir pada masa dewasa saat mereka sanggup membangun sebuah hubungan cinta yang abadi. Ciri utama masa remaja-akhir adalah penyatuan antara keintiman dan nafsu. Upaya-upaya eksplorasi-diri masa remaja-awal yang penuh masalah mulai berkembang menjadi suatu pola aktivitas seksual yang stabil, yang di dalamnya pribadi yang dicintai sekaligus bisa diterima sebagai objek bagi ketertarikan nafsu. Dua pribadi dari jenis kelamin yang berbeda tidak lagi diinginkan hanya semata-mata sebagai objek seks, namun, sebagai pribadi yang sanggup dicintai tanpa rasa egois. Masa remaja-akhir yang berhasil mencakup perkembangan mode sintaksis. Mereka belajar dari orang lain bagaimana hidup di dunia orang dewasa, dan keberhasilan perjalanan melalui tahapan-tahapan sebelumnya memfasilitasi merela dengan penyesuaian ini.

Jika epos-epos perkembangan sebelumnya tidak berhasil, anak muda akan memasuki periode remaja-akhir tanpa hubunagn antarpribadi yang intim, pola-pola yang tidak konsisten dalam aktivitas seksual, dan kebutuhan besar untuk mempertahankan operasi-operasi rasa aman. Mereka akan sangat mengandalkan mode parataksis untuk menghindari rasa cemas dan berjuang untuk mempertahankan rasa percaya diri lewat ketidakpedulian selektif, disosiasi, dan simptom-simptom neurotik lainnya. Karena percaya bahwa cinta adlah kondisi universal anak muda, mereka saling kali jatuh cinta. Tetapi hanya pribadi dewasa yang memiliki kemampuan untuk mencintai, sementara yang belum dewasa hanya menjalani gerakan-gerakan jatuh cinta ini dalam rangka mempertahankan rasa aman meraka.

Masa Dewasa ( Adulthood ) Kesuksesan menyelesaikan tahap remaja-akhir memuncak pada masa dewasa, sebuah periode dimana orang dapat membangun sebuah hubungan cinta minimal dengan satu pribadi lain yang signifikan. Sullivan menyatakan bahwa keintiman yang dikembangkan dengan sangat tinngi terhadap orang lain bukan hal yang utama kepuasan dalam hidup. Sketsa Sullivan tentang orang dewasa, tidak didasarkan kepada pengalaman klinisnya, melainkan sebagai hasil dari penyempurnaan konseptual tahapan-tahapan sebelumnya. Orang-orang dewasa begitu perseptif terhadap rasa cemas, kebutuhan, dan rasa aman orang lain. Mereka beroperasi terutama di tingkatan sintaksisdan menemukan hidup menarik dan menyenangkan.

GANGGUAN PSIKOLOGIS Sullivan percaya bahwa semua gangguan psikologis memiliki asal usul hubungan antarpribadi dan bisa dipahami hanya dengan mengacu kepada lingkungan social pasien. Dia juga yakin bahwa kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada pasien-pasien psikiatri bisa juga ditemukan pada setiap orang, meski dengan derajat yang lebih kecil. Tidak ada yang unik dengan kesulitan-kesulitan psikologis ini karena semuanya berasal dri jenis masalah antarpribadi sama yang dihadapi oleh semua orang. Kebanyakan terapi-terapi awal Sullivan berhubungan dengan pasien-pasien skizofrenik, dan kebanyakan kuliah dan tulisannya yang sebelumnya membahas skizofrenia.

Reaksi-reaksi yang terjarakkan, yang sering kali mendahului skizofrenia, dicirikan oleh rasa kesepian, rasa percaya diri yang rendah, emosi misterius, hubungan yang tidak memuaskan, dan kecemasan yang semakin meningkat. Manusia dengan kepribadian yang terjarakkan, yang umum bagi semua orang, berusaha meminimalkan kecemasan dengan membangunnsebuah sistem-diri elaborative untuk menghalangi pengalaman-pengalaman yang mengancam rasa aman mereka.

Jika individu-individu normal merasa relative aman dalam hubungan-hubungan antarpribadi mereka dan tidak perlu mengandalkan secara konstan kepada penjarakan sebagai cara melindungi kepercayaan diri, maka individu-individu yang terganggu mentalnya ini menjarakkan banyak pengalaman mereka dari sistem-diri mereka sendiri. Jika strategi ini terus dipertahankan, mereka akan semakin beroperasi di dunia privat mereka sendiri, dengan semakin meningkatnya distordi0distorsi parataksis dan menurunnya pengalaman-pengalaman konsensual yang valid.


BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

Kontribusi utama Sullivan bagi teori kepribadian adalah konsepsinya tentang tahap-tahap perkembangan.

Sullivan melihat kepribadian sebagai sebuah system energi. Energi dapat eksis sebagai tegangan ataupun sebagai aksi itu sendiri.

Ada dua tipe tegangan yaitu berbagai kebutuhan dan kecemasan.

Berbagai tingkatan kognitif ada 3 yaitu : tingkatan prototaksis, parataksis, dan sintaksis.

Tahap tahap perkembangan ada 7: masa bayi, masa kanak – kanak, masa anak muda, masa pra remaja, masa remaja awal, masa remaja akhir, masa dewasa.

Terapi-terapi awal Sullivan berhubungan dengan pasien-pasien skizofrenik, dan kebanyakan kuliah dan tulisannya yang sebelumnya membahas skizofrenia.


DAFTAR PUSTAKA

Hall Calvin S dan Gardner Lindzey.1993. Psikologi Kepribadian 1. Editor Dr. A. Supratiknya.
Yogyakarta. Kanisius.

Senin, 14 Juni 2010

TEORI ALFRED ADLER

TEORI ALFRED ADLER

Kehidupan Alfred Adler (1870-1937)

Anak kedua dari enam bersaudara, Alfred Adler lahir pada 7 February 1870 dan tumbuh di pinggiran kota Vienna. Adler hanya mengenal beberapa anak Yahudi dan lebih dipengaruhi oleh kultur Vienna daripada kultur Yahudi.

Pada awal masa kanak-kanak Adler tidak bahagia. Hal itu ditandai dengan sakit, dan kesadaran terhadap kematian, ketidakbahagiaan, dan kecemburuan dari kakak tertuanya. Dia menderita rakhitis, yang membuatnya tidak dapat berlari dan bermain dengan anak lain. Pada umur 3 tahun, dia menyaksikan kematian adik bungsunya, pada umur 4 tahun, Adler sendiri sudah sangat dekat dengan kematian karena pneumonia.

Adler pada awalnya dimanjakan oleh ibunya, hal itu hanya agar ia dapat menerima kehadiran adik laki-lakinya. Hubungan masa kana-kanaknya dengan orang tuanya menjadi sangat berbeda dengan Freud. Adler lebih dekat dengan ayahnya daripada ibunya. Dan dapat dimengerti jika kemudian ia menolak kompleks Oedipus milik Freud karena hal itu sangat asing bagi pengalaman masa kecilnya.

Seiring pertumbuhannya dan meningkatnya kesehatannya, dia mulai menghabiskan banyak waktu di luar ruangan, terutama karena dia tidak bahagia di rumah. Meskipun kekakuan dan ketidakatraktifannya, dia bekerja keras untuk menjadi disukai oleh teman bermainnya dan menemukan perasaan penerimaan dan harga diri yang tidak dia temukan di rumah. Hasilnya, dia membangun kasih sayang yang besar bagi persahabatan dengan orang lain, sebuah karakteristik yang dia pegang seumur hidupnya. Dalam teori kepribadiannya, dia menekankan pada pentinganya hubungan anak dengan kelompok teman sebaya. Dia melihat peran anak lain, baik saudara maupun orang lain, adalah lebih penting bagi perkembangan kepribadian.

Di sekolah dia tidak bahagia dan merupakan murid yang biasa-biasa saja. Adler khususnya tidak pandai dalam matematika, tapi lewat ketekunan dan kerja keras dia bangkit dari murid yang gagal, menjadi yang terbaik di kelasnya.

Dalam banyak hal, masa kecilnya seperti sebuah tragedi. Juga terlihat sebagai contoh dari teori Adler mengenai mengatasi kelamahan masa kecil dan inferioritas dan membentuk tujuan seseorang sebagai ganti terbentuk oleh hal itu. Seseorang yang dapat memberikan dunia anggapan tentang perasaan inferioritas tentu saja berbicara dari kedalaman pengalaman masa kecilnya sendiri.

Memenuhi ambisi masa kecilnya, dia belajar ilmu kedokteran di Universitas di Vienna. Dia secara khusus tertarik pada penyakit yang tidak dapat disembuhkan tapi juga tertekan pada ketidakmampuannya menolong untuk mencegah kematian, khususnya pada pasien yang lebih muda, kemudian ia meninggalkan pengobatan umum dan berpindah ke neurologi dan psikiatri.

Kebersamaan selama 9 tahun Adler dengan Freud dimulai pada tahun 1902, saat Freud mengundangnya (dan tiga orang lainnya) untuk bertemu seminggu sekali di kediaman Freud untuk mendiskusikan perkembangan terbaru psikoanalisisnya.

Salah seorang mitra kerja Freud berkomentar bahwa Adler tidak mungkin menjadi orang psikoanalisa, karena ia kesulitan melakukan penyelidikan terhadap ketidaksadaran.

Inferiority feelings

Inferiority feelings adalah kata lain dari banyak istilah dalam psikologi yang kemudian masuk menjadi kata sehari-hari pada bahasa Inggris. Kata tersebut diperoleh dari pendekatan Adler mengenai kepribadian. Memang, hal itu adalah inti dari pendekatannya. Perasaan umum menyangkut inferioritas, yang Adler percaya, adalah selalu ada dan vital sebagai kekuatan penentu dalam tingkah laku. “untuk menjadi manusia,” tulisnya, “berarti merasakan dirinya inferior.” Jadi, inferior adalah kondisi yang umum bagi semua orang, dan seperti yang telah diketahui, bukanlah merupakan satu tanda kelemahan atau abnormalitas.

Semua kemajuan manusia, pertumbuhan, dan perkembangan dihasilkan dari usaha untuk mengkompensasi inferioritas seseorang, apakah inferioritas tersebut adalah nyata atau hanya imajinasi. Sepenjang kehidupan individu, seseorang dimotivasi oleh kebutuhan untuk mengatasi perasaan inferioritas ini dan untuk berusaha untuk ketingkat perkembangan yang lebih tinggi. Menurut Adler proses tersebut dimulai pada masa bayi. Bayi kecil dan tidak berdaya, sepenuhnya bergantung pada orang dewasa. Adler merasa bahwa bayi menyadari dari ketergantungannya terhadap tenaga dan kekuatan yang lebih besar dari orang tuanya; bayi menyadari ketidakmungkinannya untuk menahan dan menantang kekuatan tersebut. hasilnya, bayi membangun perasaan inferior letergantungan pada orang yang lebih besar, lebih kuat di lingkungannya. , dimana, bagi bayi, dimanapun sama saja: lemah dan tergantung pada orang dewasa.

Penting untuk dipahami bahwa perasaan inferior itu tidak dapat dihindari. Inferioritas memberikan motivasi terbesar untuk berusaha, untuk tumbuh, agar lebih maju dan sukses. Semua kemajuan dan peningkatan dihasilkan dari usaha mengkompensasi perasaan inferior ini. Hal itu sangat berharga dan berguna.

Apa yang terjadi bila anak tidak mampu untuk mengkompensasi perasaan inferioritasnya? Ketidakmampuan mengatasi perasaan inferior akan menguat dan sering terjadi dan perasaan ini membawa pada kompleks inferioritas. Adler menjelaskan kondisi ini sebagai “ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah hidup,” dan dia menemukan kompleks semacam itu pada masa kanak-kanak dari banyak orang dewasa yang datang padanya untuk pengobatan. Kompleks inferioritas dapat bersumber dari tiga hal: melalui inferioritas organis, melalui memanjakan, dan melalui pengabaian.

Investigasi mengenai inferioritas organis merupakan usaha pertama Adler yang dilakukan saat ia masih bersama Freud. Adler mengatakan bahwa cacat organ atau bagian tubuh mempengaruhi perkembangan personal melalui usaha seseorang untuk ,mengkompensasi cacat atau kelemahan, seperti yang Adler lakukan untuk mengkompensasi penyakit rakhitisnya yang merupakan inferioritas organis pada masa kecilnya.

Memanjakan anak juga dapat membawa pada kompleks inferioritas. Anak yang dimanjakan tentu daja merupakan pusat perhatian di rumah, dimana setiap keinginannya dipenuhi dan sedikit yang diabaikan. Dibalik persoalan anak yang secara alami membangun pemikiran bahwa dia adalah orang yang paling penting dalam setiap situasi dan orang lain harus menurut padanya.

Anak manja memiliki sedikit, jika ada, perasaan sosial dan sangat tidak sabaran dengan orang lain. Anak manja juga tidak dapat mengatasi kesulitan atau menyesuaikan diri dengan orang lain. Bila berhadapan dengan rintangan untuk mendapatkan kesenangan, mereka percaya bahwa ketidakmampuan mereka yang menghalangi mereka. Oleh karena itulah kompleks inferioritas berkembang.

Adalah mudah untuk dipahami bagaimana anak yang diabaikan –seseorang yang tidak diinginkan atau ditolak- dapat mengembangkan kompleks inferioritas. Masa bayi dan masa kanak-kanak mereka ditandai dengan kurangnya cinta dan rasa aman, dikarenakan orang tua yang acuh tak acuh atau bahkan orang tua yang memiliki rasa permusuhan. Hasilnya, anak dapat mengembangkan persaan tidak berharga –bahkan kemarahan- dan melihat semua orang dengan ketidakpercayaan.

Sumber apapun dari perasaan inferioritas, seseorang dapat berkencenderungan untuk mengkomponsasi, dan juga mengembangkan apa yang disebut kompleks superioritas.

Berjuang untuk Superioritas

Melalui istilah “Berjuang untuk Superioritas” Adler tidak mengartikan bahwa setiap orang dari kita berjuang untuk berada diatas posisi atau wibawa orang lain. Adler sering menggunakan kata perfeksion sebagai sinonim dari superioritas. Orang-orang berjuang untuk perfeksion (kesempurnaan) yang mana Adler juga menjelaskannya lebih lanjut seperti penguasaan, berjuang untuk naik, peningkatan, sebuah usaha bergerak dari bawah keatas, atau pendorong dari minus ke plus.

Peningkatan besar ini setara dengan pertumbuhan fisik dan merupakan bagian dari hidup. Setiap hal yang kita lakukan mengikuti dorongan dan tujuan dari perjuangan yang terjadi secara konstan ini. Kita tak pernah lepas darinya karena perjuangan adalah hidup itu sendiri. Setiap hal diperjuangkan untuk memperoleh Superioritas ini, untuk perfeksion. Menggunakan teori evolusi Darwin, Adler mengatakan bahwa semua hidup mengekspresikan drinya sebagai pergerakan konstan menuju tujuan pemeliharaan dan peningkatan individu dan spesies. Dan tujuan ini dicapai dengan beradaptasi dan penguasaan terhadap lingkungan.

Dibandingkan Freud yang melihat tingkah laku manusia secara kaku ditentukan oleh dorongan fisiologis dan pengalaman masa anak-anak, Adler melihat bahwa motivasi adalah istilah dari harapan untuk masa depan.

Kemudian, semua proses psikologis dan fenomena dapat dijelaskan dengan konsep finalism oleh Adler –pikiran bahwa kita punya tujuan utama, keadaan akhir dari suatu keberadaan, dan kecenderungan sekarang-selamanya ataukebutuhan untuk bergerak dalam tujuan itu. Ada aspek penting dalam pernyataan tentang finalism; tujuan yang kita capai sebagai individual bukanlah merupakan aktualita tapi lebih pada potinsialitas. Ita berjuang untuk cita-cita yang ada dalamdiri kita secara subyektif.

Adler berpendapat bahwa tujuan keseluruhan kita adalah sebuah keinginan fiktif yang tak dapat diuji dengan realita. Dia juga menambahkan kita hidup dikelilingi oleh khayalan tersebut. Kita boleh saja percaya bahwa semua manusia diciptakan sama atau bahwa semua manusia pada dasarnya baik, dan cita-cita mempengaruhi cara kita merasa dan berinteraksi dengannya disekeliling kita.

Kemudian kita punya konsep Adler mengenai Fictional Finalism –tentang pemikiran fiktif (tidak nyata) mengarahkan tingkah laku kita-. Ada banyak pemikiran fiktif yang dengannya kita menuju jalan hidup kita, tetapi yang paling umum adalah keinginan tentang perfeksionisme. Gambaran terbaik mengenai keinginan ini yang dikembangkan dari keberadaan manusia adalah konsep tentang Tuhan.

Ada dua poin tambahan mengenai berjuang untuk superioritas. Pertama hal itu berfungsi untuk meningkatkan tegangan. Berlawanan dengan Freud, Adler tidak melihat motivasi tunggal kita sebagai pereduksi tegangan dan pemeliharaan agar tetep netral. Berjuang untuk superioritas (yang berkorelasi dengan kata meningkat, lebih, maju) membutuhkan pengeluaran energi dan usaha yang besar. Adler merasa bahwa manusia ingin melawan stabilitas dan keadaan yang tenang.

Kedua, berjuang untuk superioritas dimiliki oleh individu dan masyarakat. Adler menganggap bahwa manusia sangat sosial. Kita berjuang untuk superioritas tidak hanya sebagai diri sendiri tapi juga sebagai bagian masyarakat. Adler melihat antara individu dan masyarakat tergantung dan berhubungan dekat, jadi manusia harus berfungsi secara konstruktif dengan orang lain demu kebaikan bersama.

Gaya Hidup

Manusia hanya punya satu tujuan utama –superioritas atau perfeksion- tapi ada banyak tingkah laku spesifik yang digunakan individu untuk mengusahakan tujuan itu. Kita menunjukkan usaha kita dengan cra yang berbeda-beda. Setiap dari kita mengembangkan pola tingkah laku, karakteristik, dan kebiasaan yang unik untuk mencapainya. Dengan kata lain setiap orang mengembangkan gaya hidup yang berbeda. Untuk memahami bagaimana gaya hidup berkembang, kita harus kembali pada konsep perasaan inferior dan kompensasi.

Setiap hal yang kita lakukan dibentuk dan dijelaskan oleh gaya hidup kita yang unik; itu akan menentukan aspek apa yang akan kita pegang dalam lingkungan. Gaya hidup dipelajari dari interaksi sosial pada masa awal kehidupan. Menurut Adler, gaya hidup dibentuk pada umur 4-5 tahun yang kemudian akan sulit diubah.

Gaya hidup juga dibentuk menjadi kerangka yang mengarahkan perilaku berikutnya. Sifat dasar gaya hidup akan bergantung pada urutan kelahiran dan pada sifat relasi orang tua-anak.

Dalam berbagai tulisannya, Adler menggunakan istilah yang sama artinya dengan gaya hidup; kepribadian, individualitas, dan the self. Tapi apapun istilah yang digunakan, dalam tulisannya selanjutnya terdapat kepercayaan bahwa gaya hidup (the self) diciptakan oleh individu. Orang-orang menciptakan self mereka ketimbang dibentuk secara pasif oleh pengalaman masa anak-anak. Pengalaman itu sendiri tidak begitu penting seperti sikap seseorang terhadapnya. Adler menuliskan bahwa orang “tidak menghubungkan dirinya dengan dunia luar dalam kelakuan yang ditetapkan sebelumnya… Dia menghubungkan dirinya selalu berdasarkan interpretasi terhadap dirinya sendiri.” Adler berpendapat bukan hereditas atau lingkungan yang menentukan kepribadian. Tetapi, cara kita mengalami pengaruh-pengaruh ini (“interpretasi yang dibuat terhadap pengalaman tersebut”) menyediakan dasar konstruksi kreatif bagisikap kita terhadap kehidupan.

Dengankata lain, Adler berpendapat eksistensi kebebasan individu akan mengijinkan tiap orang membuat sendiri gaya hidup yang paling cocok diluar kemampuan dan pengalaman yang didapat dari lingkungan dan hereditas. Walaupun belum jelas bagaiamana self kreatif ini bekerja, Adler bersikeras gaya hidup kita tidak ditentukan untuk kita; kita bebas memilih dan menciptakan self-self kita sendiri. Pertama diciptakan, gaya hidup menyisakan nilai yang konstan sepanjang hidup dan merupakan karakter dasar kita yang menjelaskan sikap dan perilaku kita terhadapmasalah diluar.

Adler menkankan pentingnya masalah hidup yang harus diatasi tiap individu, dan dia mengelompokkannya kedalam tiga kategori: problem yang melibatkan tingkah laku terhadap orang lain, problem pekerjaan, dan problem cinta. Adler menyatakan bahwa eksistensi empat gaya hidup dasar diambil oleh orang-orang untuk dapat bekerja sama dengan masalah-masalah tersebut.

Jenis pertama menunjukkan dominant or ruling attitude (sikap memerintah); dengan sedikit atau tanpa sama sekali kesadaran dan minat sosial. Orang-orang tersebut senang berperilaku tanpa menghormati orang lain. yang lebih berbahaya dari jenis ini akan menyerang orang lain secara langsung dan menjadi sadis, delikuen, dan ganas. Yang kurang berbahaya akan menjadi alkoholik, kecanduan obat, dan bunuh diri. Adler berpendapat bahwa melalui perilaku tersebut secara tidak langsung mereka menyerang orang lain. Dengan kata lain, mereka menyakiti orang lain dengan menyakiti dirinya sendiri.

Jenis gaya hidup kedua, -jenis Getting (mendapat)- yang menurut Adler yang terjadi paling umum, mengharapkan mendapat apa saja dari orang lain dan menjadi sangat tergantung pada orang lain.

Jenis ketiga, jenis Avoiding (menghindar); tanpa usaha untuk menghadapi masalah hidup. Dengan menghindari masalah, orang-orang tersebut menghindari kemungkinan kekalahan.

Seperti yang anda lihat ketiga jenis gaya hidup diatas tidak dipersiapkan untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan masalah. Mereka tak mampu bekerja sama dengan orang lain.

Jenis gaya hidup keempat -jenis Socially Useful (bermanfaat sosial)- merupakan yang dapat bekerja sama dengan orang lain dan bertindak dalam kesesuaian dengan kebutuhan mereka. Orang-orang tersebut menyesuaikan permasalahan hidup dengan kerangka sosial interes yang dikembangkan dnegan baik.

Sosial interes digunakan untuk membentuk bagian utama dalam sistem Adler. Ia percaya bahwa bersama dengan orang lain adalah tugas pertama kita bertemu dalam hidup dan bahwa penyesuaian sosial kita berikutnya mempengaruhi pendekatan kita terhadap semua masalah hidup kemudian.

Minat Sosial

Adler memandang manusia lebih dipengaruhi oleh dorongan sosial daripada dorongan biologis. Ia menganggap bahwa potensi untuk minat sosial telah dibawa sejak lahir. Namun tingkat potensi bawaan lahir bagi perasaan sosial dicapai tergantung pada sifat dasar pengalaman sosial anak sejak dini. Tidak ada manusia yang bisa melepaskan diri sama sekali dari orang lain, menurut Adler atau kewajiban terhadap mereka. Sejak awal hidupnya, manusia telah berhubungan dengan manusia lain dalam keluarga, suku dan bangsa. Sebuah komunitas sangat diperlukan manusia untuk perlindungan dan untuk mencapai tujuan pertahanan. Jadi, hal itu selalu dibutuhkan oleh manusia untuk bekerjasama, dan kerjasama ini adalah apa yang Adler maksud sebagai minat sosial.

Di awal kelahiran, bayi menemukan dirinya di dalam situasi yang membutuhkan orang lain. Awalnya ibu, lalu anggota keluarga lain, dan terakhir rumahnya. Dalam masa pertumbuhan, kita tidak dapat berfungsi dengan baik dalam pengasingan dan harus mengembangkan minat sosial. Segalanya kita lakukan untuk ketenangan hidup kita yang terletak di dalam kerangka orang lain. Semua aspek-aspek dari karakter kita atau gaya hidup menampakkan tingkat dari perkembangan perasaan sosial kita.

Adler mencatat pengaruh penting dari ibu sebagai orang pertama yang dengan siapa bayi mengadakan kontak. Ibu bisa, lewat tindak tanduknya terhadap bayi, membantu dan mengembangkan minat sosial, atau dia dapat mengubah atau menghalangi perkembangannya. (Tentu saja, pengaruh ini tergantung, Adler telah mencatat, pada bagaimana anak menginterpretasikan kelakuan ibunya. Diri kreatif membentuk karakter bayi berdasarkan interpretasi ini.)

Ibu harus mengajari anak kerjasama, hubungan persahabatan, dan keberanian, konsep Adler dipertimbangkan untuk menjadi hubungan yang sangat erat. Anak (dan nanti saat dewasa) yang menganggap hal lain dengan permusuhan dan kecurigaan akan menemui masalah kehidupan dengan tingkah laku yang sama.. Anak dengan tanpa perasaan dari minat sosial akan menjadi orang dari masyarakat yang tidak menyenangkan seperti neurotic, criminal, orang jahat, dan sebagainya.

Kita melihat, dalam uraian singkat biografi di awal bab ini, bahwa adler adalah anak laki-laki yang enjoy dalam berhubungan dengan anak lain; dia membangun derajat yang tinggi dari minat sosial, dimana itu merupakan sifatnya selama hidupnya. Hal ini menarik bahwa di awal karirnya, adler memandang manusia didorong oleh gila kekuasaan dan kebutuhan untuk mendominasi. Hal itu terjadi selama Adler sendirian berjuang menentukan sudut pandangnya dalam Lingkungan Freudian.

Penulis biografi Freud, Ernest Jones, berkomentar bahwa, saat Adler menjadi bagian dari golongan Freud, dia suka membantah dan suka berdebat dan terlihat sangat ambisius seperti saat dia berselisih untuk mengutamakan beberapa pendapatnya. Beberapa tahun kemudian, Jones mengamati, kesuksesan Adler telah membawanya lebih ramah. Bagaimanapun juga, system Adler telah berubah sesuai harapannya, dari kekuatan untuk menekan dan mendominasi menjadi dorongan motivasi yang dititikberatkan pada dorongan yang lebih ramah dari minat sosial.

Urutan Kelahiran

Adler menempatkan urutan kelahiran sebagai salah satu pengaruh sosial mayor dalam masa kanak-kanak dimana individu membentuk gaya hidup. Sekalipun saudara sekandung memiliki orang tua dan rumah yang sama, mereka tidak memiliki lingkungan sosial yang sama. Fakta-fakta dari yang lebih tua atau yang lebih muda pada saudara sekandung dan dari terbukanya sikap orang tua yang telah berubah sebagai hasil dari adanya banyak anak menciptakan kondisi yang berbeda pada masa kanak-kanak yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang, sebagaimana Adler telah mengetahui dari masa kecilnya sendiri. Adler focus pada tiga posisi ; anak pertama, anak kedua, dan yang paling muda.

Anak pertama menemukan dirinya dalam keunikan dan dalam banyak situasi yang patut ditiru. Biasanya, para orang tua sangat bahagia pada kelahiran anak pertama mereka dan mencurahkan seluruh waktu dan perhatian pada bayi yang baru lahir. Kelahiran anak pertama menerima perhatian yang sepenuhnya dari orangtua.

Sebagai hasilnya, anak pertama sering merasa senang, terjamin keberadaannya hingga hadirnya anak kedua. Hal itu pasti membuat shock. Tidak ada focus perhatian yang instan dan konstan, tidak ada penerimaan cinta dan kasih sayang yang penuh dari orangtuanya terhadap anak ini, dalam bahasa Adler “dethroned”. Cinta yang tetap yang diterima anak pertama pada periode ini sekarang harus dibagi. Anak harus sering menyerah pada kemarahan untuk menunggu hingga bayi yang baru lahir telah selesai diurus dan harus diam pada suatu waktu agar tidak membangunkan bayi yang baru lahir.

Semua anak pertama merasa shock terhadap perubahan posisi mereka dalam keluarga, tapi hal itu juga menjadikan dia lebih manja, tentu saja, merasa sangat kehilangan juga, tingkat kehilangan tergantung pada umur anak pertama saat lawannya hadir.

Pertarungan untuk tetap memakai kekuasaannya yang hilang dari awal; sesuatu tidak akan pernah menjadi seperti pertama mereka ada, tidak menjadi masalah bagaimana kerasnya anak pertama mencoba. Tapi anak yang mencoba kapanpun dan menjadi, pada satu waktu, masalah tingkah laku, melanggar objek dan peraturan, menjadi keras kepala, atau menolak makan dan tidur. Dia menjadi pemarah. Saat anak pertama dihukum pada awalnya, karena tingkah laku yang menyusahkan atau suka mengganggu, dia menginterpretasi hukumannya sebagai bukti dari perubahan posisi yang mungkin lebih mudah untuk tumbuh kebencian terhadap anak yang baru lahir. Bayi yang baru lahir, merupakan penyebab masalah.

Dia menemukan bahwa anak yang lebih tua sering berorientasi pada masa lampau, terkunci dalam nostalgia dan pesimis terhadap masa depan tetapi pada waktu yang sama, mereka biasanya lebih tunduk pada kekuasaan.

Sebagai hasil dari keseluruhan hal ini, anak pertama memiliki ketertarikan pada pemeliharaan urutan dan kekuasaan. Adler menemukan bahwa mereka menjadi organisator yang sangat bagus, teliti dan cermat terhadap detail dan penguasa serta bersikap konservatif. Secara tak sengaja—Freud adalah anak pertama. Kenyataannya, Adler menunjuk Freud sebagai “tipikal anak sulung”. Anak pertama dapat tumbuh dengan perasaan tidak aman dan bermusuhan terhadap yang lain. Adler menemukan bahwa penjahat, criminal dan neurotic lebih sering adalah anak pertama.

Bagaimana keberadaan anak kedua, seseorang yang menyebabkan keributan?. Anak ini juga memiliki situasi yang unik. Untuk satu hal, dia tidak pernah mengalami kekuasaan penuh dan posisi vocal seperti yang dialami anak pertama. Meski hadir lebih muda dalam saudara sekandung, anak kedua tidak mengalami perasaan yang tajam dari penggulingan kekuasaan seperti yang dialami anak pertama. Lagipula, orang tua mungkin telah berubah seiring dengan waktu kelahiran anak kedua. Bayi kedua tidak membawa sesuatu yang baru seperti anak pertama dan orang tua mungkin berkurang kekhawatiran dan kecemasan tentang perilaku mereka dalam membesarkan yang kedua;mereka mungkin lebih relaks dalam menghadapi anak kedua.

Anak kedua, pada awalnya, menentukan model pada saudara kandung yang tertua. Anak kedua tidak sebagai anak yang kesepian tapi selalu memiliki contoh dari perilaku saudara kandung yang tertua sebagai model atau ancaman untuk bersaing dengannya. Adler merupakan anak kedua yang memiliki hubungan kompetitif dengan saudara laki-laki yang lebih tua dalam seluruh hidupnya. Sebagai seorang analis yang sukses dan terkenal, dia tetap merasa dikalahkan oleh saudara laki-lakinya, yang menjadi pembisnis yang kaya. Secara nyata, Konsep urutan kelahiran telah berkembang, pada awalnya merupakan dasar dari pengetahuan personal.

Kompetisi dengan anak pertama dipacu oleh anak kedua, stimulasi sering lebih cepat berkembang daripada yang ditunjukkan anak pertama. Anak kedua didorong untuk mengejar dan mengungguli saudara yang lebih tua, tujuannya biasanya kecepatan bahasa dan perkembangan motor. Sebagai contoh anak kedua biasanya mulai berbicara pada usia yang lebih muda daripada anak pertama. Tanpa memiliki pengalaman kekuatan, anak kedua tidak memiliki kekhawatiran sebagaimana anak pertam dan lebih optimis dalam memandang masa depan. Anak kedua kemungkinan menjadi sangat kompetitif dan ambisius.

Anak yang paling muda atau yang paling akhir lahir tidak pernah merasa shock dengan pelengseran kedudukan oleh anak yang lain dan sering menjadi kesayangan atau bayi dalam keluarga, khususnya jika saudara kandung lebih tua beberapa tahun. Didorong oleh kebutuhan untuk mengungguli saudara yang lebih tua, anak yang lebih muda sering berkembang pada tingkat kesungguhan. Sebagai hasilnya, anak terakhir sering berprestasi tinggi dalam pekerjaan apapun yang mereka kerjakan seperti orang dewasa.

Tapi lawan yang sesungguhnya ada jika anak yang termuda manja dan dimanjakan oleh anggota keluarga secara langsung dimana dia tidak perlu belajar untuk melakukan apapun untuk dirinya. Sebagaimana individu tumbuh dewasa, dia mungkin memelihara ketidakberdayaan dan ketergantungan yang merupakan cirri dari masa kanak-kanaknya. Tidak terbiasa untuk berusaha dan berjuang, digunakan untuk tetap dipedulikan oleh orang lain, seseorang akan menemukan kesulitan untuk mengatasi masalah dan penyesuaian diri pada masa dewasa.

Bagaimana dengan anak tunggal?. Pada hakekatnya, dia adalah anak pertama yang tidak pernah kehilangan posisi unggul dan kuat—paling tidak dalam masa kanak-kanak. Anak tetap menjadi focus dan pusat perhatian keluarga. Menghabiskan banyak waktu bersama orang dewasa daripada anak yang memiliki saudara kandung. Anak tunggal sering tumbuh dewasa dengan cepat dan meraih kedewasaan perilaku dan sikap lebih cepat.

Anak tunggal mungkin mengalami kekagetan yang luar biasa sebagaiman dia tumbuh dewasa dan menemukan bahwa di dalam wilayah hidup di luar rumah (seperti sekolah) dia bukan pusat perhatian. Anak tunggal telah belajar, baik berbagi maupun bersaing untuk menjadi yang pertama. Jika kemampuan anak tidak membawa cukup pengakuan dan perhatian, dia mungkin merasa sangat kecewa.

Adler tidak menaruh aturan tetap untuk perkembangan. Sebagaimana telah tercatat, anak tidak akan secara otomatis memperoleh satu dan hanya satu macam sifat sebagai hasil dari urutan kelahiran. Apa yang dia sarankan adalah kemungkinan dari perkembangan gaya hidup yang pasti sebagai fungsi dari salah satu posisi di dalam keluarga. Individu harus selalu belajar di dalam hubungannya dengan orang lain, karena hubungan social secara dini digunakan oleh diri yang kreatif dalam menata gaya hidup.

Metode Penelitian

Seperti Freud, Adler mengembangkan teorinya melalui pengamatan terhadap pasienya dimana para pasien bercerita kepadanya dan bagaimana mereka berperilaku selama sesi treatment. Pendekatan Adler terhadap pasienya lebih santai dan tidak formal dibandingkan Freud. Sebaliknya pasienya Freud berada diatas dipan dan Freud duduk di belakang mereka, Adler dan pasienya berhadapan satu sama lain, duduk di kursi yang nyaman. Sesi itu lebih seperti obrolan antara dua teman daripada hubungan yang formal seperti yang dilakukan Freud.

Adler mendapatkan informasi tentang pasienya melalui pengamatan mengenai segala sesuatu tentang mereka seperti cara mereka berjalan dan duduk, berjabat tangan bahkan pemilihan tempat duduk. Dia percaya bahwa cara-cara dimana kita menggunakan tubuh kita menunjukkan adanya suatu gaya hidup kita.

Ada tiga sumber informasi utama “ tiga gerbang masuk menuju kehidupan mental” yakni urutan kelahiran, ingatan awal dan mimpi. Ini semua merupakan perangkat utamanya.

Kita telah membicarakan bagaimana posisi seseorang dalam keluarga mempengaruhi kepribadian dalam pandangan Adler.

Ingatan awal milik seorang pasien menurut Adler ,merupakan petunjuk sempurna untuk memahami gaya hidup mereka. Seperti yang kita lihat, gaya hidup berkembang di awal empat atau lima tahun dan Adler merasa bahwa ingatan paling awal dari periode ini akan menunjukkan suatu gaya hidup yang berkelajutan untuk memberikan karakter saat dewasa.

Seperti uji berikutnya, Adler menanyakan kepada lebih dari seratus dokter mengenai ingatan awal mereka. Dia menemukan bahwa mayoritas ingatan-ingatan itu terkait dengan baik penyakit maupun kematian di dalam keluarga, yang rupanya membawa mereka pada pekerjaan yang memberantas penyakit seperti masalah pada diri Adler sendiri.

Selagi Adler merasa bahwa tiap ingatan awal harus diinterpretasikan dalam konteks pasien secara individu, dia menemukan beberapa penggunaan komponen sama di antara mereka. Misalnya, ingatan yang melibatkan bahaya atau hukuman menandai adanya suatu kecenderungan kearah permusuhan. Ingatan-ingatan yang berpusat hanya pada satu orang tua menunjukkan preferensi pada orang tua tersebut. Ingatan-ingatan perilaku yang tidak benar menandakan adanya suatu usaha menghindari perilaku itu berulang.

Ingatan awal Adler menyatakan kelemahan fisik, persaingan dengan kakaknya, preferensi terhadap ayahnya dari pada ibunya, ambisi dan menanggulangi ketakutan akan kematian di masa kanak-kanaknya. Semuanya ini memberikan karakter pada Adler.

Adler setuju dengan Freud mengenai nilai mimpi yang besar dalam memahami kepribadian tetapi tidak setuju atas cara dimana mimpi seharusnya diinterpretasikan. Adler tidak percaya bahwa mimpi memuaskan keinginan atau menyatakan konflik yang sangat tersembunyi.

Adler merasa bahwa mimpi menyebabkan susana hati. Seperti bukti berikut, dia menunjukan fakta bahwa kita sangat sering tidak bisa mengingat peristiwa suatu mimpi dengan specifik, tetapi kita dapat mengingat suasana hatinya. Kita mengingat apakah itu menakutkan atau indah tanpa dapat mengingat semua detail cerita mimpi itu. Suasana hati muncul melalui mimpi yang menipu seseorang, melemahkan perasaan dan logika secara umum. Di dalam fantasi yang merupakan mimpi kita dapat mengatasi rintangan yang tersulit, menyederhanakan masalah yang terkompleks. Dan itu adalah tujuan pokok dari mimpi yakni untuk membantu individu [itu] memecahkan permasalahan yang ada. Mimpi diorientasikan ke arah masa kini dan masa depan – ke arah tujuan dan bukan ke arah konflik di masa lalu.

Bagaimanapun, seperti dengan ingatan pertama, Adler menemukan interpretasi umum untuk beberapa mimpi. Misalnya, dia menemukan, seperti Freud, bahwa banyak orang bermimpi jatuh atau terbang. Freud menginterpretasikan mimpi seperti itu ke dalam istilah seksual. Bagi Adler, bermimpi jatuh manandakan bahwa pandangan emosional orang itu adalah dari atas ke bawah. Orang tersebut mungkin, misalnya, takut kehilangan harga diri. Sudut pandang dalam bermimpi terbang adalah hanya sebaliknya dan mungkin menandai adanya kerja keras yang meningkat, gaya hidup ambisi diman orang itu ingin berada di atas orang lain. Beberapa mimpi menggabungkan jatuh dan terbang, yang mana Adler menginterpretasikanya sebagai ketakutan yang menjadi terlalu ambisius dan kemudian jatuh. Sebuah mimpi diburu oleh seseorang (atau sesuatu) member kesan suatu perasaan kelemahan dalam berhubungan dengan orang lain. Bermimpi bahwa seseorang tidak berpakaian menandai adanya ketakutan membuka rahasia dirinya.

Dengan metode apapun, tujuan penelitian kepribadian individu adalah untuk memahamigaya hidupnya dan untuk menentukan jika itu adalah yang paling sesuai untuk orang tersebut.

Gambaran Adler Tentang Sifat Manusia

Kita telah mencatat di bagian awal BAB ini bagaimana perbedaan gambaran Adler tentang alami manusia dibandingkan dengan Freud. System Adler memberikan gambaran yang penuh harapan dan menyanjung-nyanjung kita yang banyak mempertimbangkan penawar racun sambutan selamat dating bagi gambaran Freud yang membosankan. Tentu saja hal itu lebih memuaskan pada rasa harga diri kita untuk mempertimbangkan kemampuan diri kita dengan sadar membentuk tujuan dan pengembangan diri kita dari pada didominasi oleh kekuatan seksual dan pengalaman di masa kanak-kanak. Gambaran Adler tentang kita adalah seseorang yang sangat optimistic. Kita tidak disetir oleh kekuatan ketidaksadaran yang kita tidak dapat melihat dan mengontrolnya; kita membentuk kekuatan diri kita sendiri dan menggunakanya dalam cara kreatif kita untuk membangun gaya hidup yang unik. Keunikan ini adalah bagian gambaran Adler lainya yang menyanjung-nyanjung. Banyak orang melihat dalam system Freud adalah suatu penekanan universalitas dan kesamaan dalam manusia.

Gambaran Adler tentang sifat manusia adalah sederhana. Masing-masing orang adalah unik dan memiliki kemauan dan pilihan yang bebas untuk menciptakan dirinya. Meskipun aspek-aspek tertentu dari sifat manusia adalah pembawaan dari lahir seperti minat social dan mengejar kesempurnaan, itu adalah pengalaman yang menentukan seberapa baik kecenderungan pewarisan ini akan di realisasikan. Dalam pandangan Adler pengaruh masa kanak-kanak penting, khususnya urutan kelahiran dan hubungan dengan orang tua.

Adler tidak hanya yang melihat masing-masing orang unik dan penuh kesadaran, tetapi dia juga memandang manusia seluruhnya sebagai suatu keutuhan dalam terminology yang sama. Dia optimistis terhadap kemajuan social. Dari masa kanak-kanak, dia prihatin dengan perbaikan bermasyarakat. Kepercayaan kuat yang dapat mengubah diri kita dan masyarakat kita merupakan suatu tanda dari teori Adlerian.

Konsep minat social ini menggambarkan suatu kepercayaan bahwa orang mampu bekerja sama untuk menyempurnakan suatu masyarakat yang sehat dan diinginkan. Dengan menggambarkannya kita mampu untuk merasakan dan menyatakan symphaty, afeksi, dan identifikasi dengan orang lain.

RUJUKAN:

Schultz, Duane. 1981. Theories of Personality. California: Brooks/Cole Publishing Company.

SEKILAS TENTANG TEORI KEPRIBADIAN SIGMUND FREUD DAN APLIKASINYA DALAM PROSES BIMBINGAN

Oleh: Dra Kusmawati Hatta,M.Pd[1]

Sigmund Freud is a prominent figure who is very creative and productive in writing his works. One of his famous works is the theory about Psychoanalysis. In this theory, Freud states several key concepts: 1) Perception about human behaviour. Freud states that human behaviour is determined by the irrational power which is not aware of biological motivation and motivation of certain psychological sexual instinct at the first six years of life; 2) the structure of human personality consists of idea, ego and superego; 3) consciousness and unconsciousness; 4) worries; 5) mechanism how to defend ego; and 6) the development of individuality. This article tries to look at the six key concepts above and its application to counseling.

Riwayat hidup Sigmund Freud

Sigmund Freud yang terkenal dengan Teori Psikoanalisis dilahirkan di Morovia, pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939. Gerald Corey dalam “Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy” menjelaskan bahwa Sigmund Freud adalah anak sulung dari keluarga Viena yang terdiri dari tiga laki-laki dan lima orang wanita. Dalam hidupnya ia ditempa oleh seorang ayah yang sangat otoriter dan dengan uang yang sangat terbatas, sehingga keluarganya terpaksa hidup berdesakan di sebuah aparterment yang sempit, namun demikian orang tuanya tetap berusaha untuk memberikan motivasi terhadap kapasitas intelektual yang tampak jelas dimiliki oleh anak-anaknya.[2]

Sebahagian besar hidup Freud diabdikan untuk memformulasikan dan mengembangkan tentang teori psikoanalisisnya. Uniknya, saat ia sedang mengalami problema emosional yang sangat berat adalah saat kreativitasnya muncul. Pada umur paruh pertama empat puluhan ia banyak mengalami bermacam psikomatik, juga rasa nyeri akan datangnya maut dan fobi-fobi lain. Dengan mengeksplorasi makna mimpi-mimpinya sendiri ia mendapat pemahaman tentang dinamika perkembangan kepribadian seseorang.

Sigmund Freud dikenal juga sebagai tokoh yang kreatif dan produktif. Ia sering menghabiskan waktunya 18 jam sehari untuk menulis karya-karyanya, dan karya tersebut terkumpul sampai 24 jilid. Bahkan ia tetap produktif pada usia senja. Karena karya dan produktifitasnya itu, Freud dikenal bukan hanya sebagai pencetus psikoanalisis yang mencuatkan namanya sebagai intelektual, tapi juga telah meletakkan teknik baru untuk bisa memahami perilaku manusia. Hasil usahanya itu adalah sebuah teori kepribadian dan psikoterapi yang sangat komprehenshif dibandingkan dengan teori serupa yang pernah dikembangkan.

Psikoanalisa dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Hipotesis pokok psikoanalisa menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebahagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia.

Lima karya Freud yang sangat terkenal dari beberapa karyanya adalah: (1) The Interpretation of dreams (1900), (2) The Psichopathology of Everiday Life (1901), (3) General Introductory Lectures on Psichoanalysis (1917), (4) New Introductory Lectures on Psichoanalysis (1933) dan (5) An Outline of Psichoanalysis (1940).[3]

Dalam dunia pendidikan pada masa itu, Sigmund Freud belum seberapa populer. Menurut A. Supratika, nama Freud baru dikenal pertama kalinya dalam kalangan psikologi akademis pada tahun 1909, ketika ia diundang oleh G. Stanley Hall, seorang sarjana psikologi Amerika, untuk memberikan serangkaian kuliah di universitas Clark di Worcester, Massachusetts. Pengaruh Freud di lingkungan psikologi baru terasa sekitar tahun 1930-an. Akan tetapi Asosiasi Psikoanalisis Internasional sudah terbentuk tahun 1910, begitu juga dengan lembaga pendidikan psikoanalisis sudah didirikan di banyak negara.[4]

Persepsi tentang sifat manusia

Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Namun demikian menurut Gerald Corey yang mengutip perkataan Kovel, bahwa dengan tertumpu pada dialektika antara sadar dan tidak sadar, determinisme yang telah dinyatakan pada aliran Freud luluh. Lebih jauh Kovel menyatakan bahwa jalan pikiran itu adalah ditentukan, tetapi tidak linier. Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.

Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka tahu umat manusia itu akan punah.

Struktur Kepribadian

Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.

Gerald Corey menyatakan dalam perspektif aliran Freud ortodoks, manusia dilihat sebagai sistem energi, dimana dinamika kepribadian itu terdiri dari cara-cara untuk mendistribusikan energi psikis kepada id, ego dan super ego, tetapi energi tersebut terbatas, maka satu diantara tiga sistem itu memegang kontrol atas energi yang ada, dengan mengorbankan dua sistem lainnya, jadi kepribadian manusia itu sangat ditentukan oleh energi psikis yang menggerakkan.[5]

Menurut Calvil S. Hall dan Lindzey, dalam psikodinamika masing-masing bagian dari kepribadian total mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja dinamika dan mekanisme tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Id bagian tertua dari aparatur mental dan merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id dan instink-instink lainnya mencerminkan tujuan sejati kehidupan organisme individual. Jadi id merupakan pihak dominan dalam kemitraan struktur kepribadian manusia.[6]

Menurut S. Hall dan Lindzey, dalam Sumadi Suryabarata, cara kerja masing-masing struktur dalam pembentukan kepribadian adalah: (1) apabila rasa id-nya menguasai sebahagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak primitif, implusif dan agresif dan ia akan mengubar impuls-impuls primitifnya, (2) apabila rasa ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya bertindak dengan cara-cara yang realistik, logis, dan rasional, dan (3) apabila rasa super ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak pada hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang irrasional.[7]

Jadi untuk lebih jelasnya sistem kerja ketiga struktur kepribadian manusia tersebut adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer.[8]

Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalulintas” yang selalu mengontrol jalannya id, super- ego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.

Kesadaran dan ketidaksadaran

Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya. Menurut Gerald Corey, bukti klinis untuk membenarkan alam ketidaksadaran manusia dapat dilihat dari hal-hal berikut, seperti: (1) mimpi; hal ini merupakan pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi dalam diri, (2) salah ucap sesuatu; misalnya nama yang sudah dikenal sebelumnya, (3) sugesti pasca hipnotik, (4) materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas, dan (5) materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta isi simbolik dari simptom psikotik.[9]

Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.

Kecemasan

Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Gerald Corey mengartikan kecemasan itu adalah sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa kita untuk berbuat sesuatu. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsinya adalah mengingatkan adanya bahaya yang datang.[10]

Sedangkan menurut Calvin S. Hall dan Lindzey, kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral. (1) kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata. (2) kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan (3) kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.

Mekanisme pertahanan ego

Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang penting adalah: (1) represi; ini merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran, (2) memungkiri; ini adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik, (3) pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran, (4) proyeksi; ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar, (5) penggeseran; merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”, (6) rasionalisasi; ini cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur, (7) sublimasi; ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima, bahkan ada yang dikagumi, (8) regresi; yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami, (9) introjeksi; yaitu mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain, (10) identifikasi, (11) konpensasi, dan (12) ritual dan penghapusan.[11]

Perkembangan kepribadian
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.

Menurut Freud, kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun (dalam A.Supratika), yaitu: (1) tahap oral, (2) tahap anal: 1-3 tahun, (3) tahap palus: 3-6 tahun, (4) tahap laten: 6-12 tahun, (5) tahap genetal: 12-18 tahun, (6) tahap dewasa, yang terbagi dewasa awal, usia setengah baya dan usia senja.[12]

Aplikasi Teori Sigmund Freud Dalam Bimbingan
Apabila menyimak konsep kunci dari teori kepribadian Sigmund Freud, maka ada beberapa teorinya yang dapat aplikasikan dalam bimbingan, yaitu: Pertama, konsep kunci bahwa ”manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar. Dengan demikian konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh konseli, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan itu sendiri. Mortensen (dalam Yusuf Gunawan) membagi fungsi bimbingan kepada tiga yaitu: (1) memahami individu (understanding-individu), (2) preventif dan pengembangan individual, dan (3) membantu individu untuk menyempurnakannya.[13]

Memahami individu. Seorang guru dan pembimbing dapat memberikan bantuan yang efektif jika mereka dapat memahami dan mengerti persoalan, sifat, kebutuhan, minat, dan kemampuan anak didiknya. Karena itu bimbingan yang efektif menuntut secara mutlak pemahaman diri anak secara keseluruhan. Karena tujuan bimbingan dan pendidikan dapat dicapai jika programnya didasarkan atas pemahaman diri anak didiknya. Sebaliknya bimbingan tidak dapat berfungsi efektif jika konselor kurang pengetahuan dan pengertian mengenai motif dan tingkah laku konseli, sehingga usaha preventif dan treatment tidak dapat berhasil baik.

Preventif dan pengembangan individual. Preventif dan pengembangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Preventif berusaha mencegah kemorosotan perkembangan anak dan minimal dapat memelihara apa yang telah dicapai dalam perkembangan anak melalui pemberian pengaruh-pengaruh yang positif, memberikan bantuan untuk mengembangkan sikap dan pola perilaku yang dapat membantu setiap individu untuk mengembangkan dirinya secara optimal.

Membantu individu untuk menyempurnakan. Setiap manusia pada saat tertentu membutuhkan pertolongan dalam menghadapi situasi lingkungannya. Pertolongan setiap individu tidak sama. Perbedaan umumnya lebih pada tingkatannya dari pada macamnya, jadi sangat tergantung apa yang menjadi kebutuhan dan potensi yang ia meliki. Bimbingan dapat memberikan pertolongan pada anak untuk mengadakan pilihan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

Jadi dalam konsep yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa teori Freud dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan proses bantuan kepada konseli, sehingga metode dan materi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan individu.

Kedua, konsep kunci tentang “kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu supaya mengerti dirinya dan lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu mengelola aktivitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana; mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma agama, sosial dalam masyarakatnya.

Dengan demikian kecemasan yang dirasakan akibat ketidakmampuannya dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Karena menurut Freud setiap manusia akan selalu hidup dalam kecemasan, kecemasan karena manusia akan punah, kecemasan karena tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan dan banyak lagi kecemasan-kecemasan lain yang dialami manusia, jadi untuk itu maka bimbingan ini dapat merupakan wadah dalam rangka mengatasi kecemasan.

Ketiga, konsep psikolanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun dalam beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pemebinaan akhlak individual, Islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.

Dalam hal ini sebuah hadis Nabi menyatakan bahwa “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang ikut mewarnainya sampai dewasa.” Selain itu seorang penyair menyatakan bahwa “Tumbuhnya generasi muda kita seperti yang dibiasakan oleh ayah-ibunya”.[14]

Hadis dan syair tersebut di atas sejalan dengan konsep Freud tentang kepribadian manusia yang disimpulkannya sangat tergantung pada apa yang diterimanya ketika ia masih kecil. Namun tentu saja terdapat sisi-sisi yang tidak begitu dapat diaplikasikan, karena pada hakikatnya manusia itu juga bersifat baharu.

Keempat, teori Freud tentang “tahapan perkembangan kepribadian individu” dapat digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan haruslah selalu melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya menjadi efektif.

Kelima, konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses bimbingan yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan Id yang bersifat irrasional sehingga berubah menjadi rasional.



[1] Peneliti Aceh Institute, staf pengajar pada IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

[2] Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psichotherapy,(terjemahan Mulyarto),IKIP Semarang Press, Semarang 1995 hal 138.

[3] Calvia S. Hall dan Gardner Lindzey, terjemahan Yustinus tahun 1995 hl 63.

[4] Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Theories of Personality ( terjemahan A. Supratika), penerbit Kanisius, Yogyakarta, tahun 1993 hal.51.

[5] Ibid

[6] Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Op Cit.

[7] Sumadi Suryabarata, Psikologi Kepribadian, UGM Yokyakarta 1982:170.

[8] A. Supratika, Pokok dan Tokoh Psikologi Modern, IKIP Yokyakarta, tahun 1984 hal.52.

[9] Gerald Corey, Op Cit: hal. 142.

[10] Ibid, hal. 143

[11] Gerald Corey, Op Cit, hal 145-147.

[12] A. Supratika, Op Cit, hal. 56.

[13] Yusuf Gunawan, Pengantar Bimbingan dan Konseling: buku panduan mahasiswa, PT Prehalindo Jakarta, tahun 2001 hlm 42-46

[14]. Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, Pustaka Al- Kautsar, Tahun 2001 hal. 91